Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa penuntut umum (JPU) menyebut, materi eksepsi atau nota keberatan dari eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam ( Sekum FPI) Munarman telah melampaui kewenangan.
Menurut jaksa, eksepsi Munarman sudah tidak masuk dalam aspek formil, sebab perkara yang menjeratnya ini sudah masuk ranah persidangan.
"Penuntut umum berpendapat bahwa seluruh uraian materi keberatan atau eksepsi terdakwa dan penasehat hukum terdakwa tersebut sudah terlampaui kewenangannya yang diatur dalam pengajuan keberatan eksepsi atas dakwaan penuntut umum," kata jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Rabu (22/12/2021).
Padahal kata jaksa, pokok perkara ini baru bisa dibuktikan jika pihaknya sudah membacakan nota tuntutan nantinya.
Baca juga: Jaksa Enggan Tanggapi Eksepsi Munarman Karena Dinilai Pendapat Subjektif
Lebih lanjut kata dia, dalam rangkaian persidangan nanti hingga akhirnya tuntutan, akan ada berbagai fakta yang dibuktikan dengan seluruh alat bukti, keterangan saksi, termasuk keterangan dari Munarman.
Atas hal itu, jaksa meminta kepada Majelis Hakim yang memutus dan mengadili perkara ini untuk menolak seluruh eksepsi dari Munarman maupun Kuasa hukumnya.
"Tentunya akan diungkap pada proses persidangan dengan menguji seluruh alat bukti yang diajukan penuntut umum baik dengan mendengarkan para saksi, keterangan ahli, alat bukti surat dan keterangan terdakwa sendiri dengan demikian alasan penasehat hukum terdakwa harus ditolak atau tidak diterima," tegas jaksa.
Dalam persidangan Rabu (15/12/2021) pekan lalu, Munarman dan kuasa hukumnya telah menyampaikan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan jaksa.
Munarman menepis dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yang menyatakan dirinya turut terlibat dalam jaringan terorisme dan berbaiat pada Islamic State Iraq and Suriah (ISIS).
Dalam eksepsinya, eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (Sekum FPI) itu kemudian mengaitkan tuduhan yang dilayangkan kepadanya dengan agenda perdana aksi bela Islam 212 pada 2016 silam.
Berdasar pengakuannya dalam sidang, pada agenda tersebut, banyak para pejabat tinggi negara yang hadir seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kapolri hingga Panglima TNI ke acara yang digelar di kawasan Monas, Jakarta Pusat itu.
Jika ditelisik, Presiden yang saat itu menjabat yakni Joko Widodo, dengan Wakilnya Jusuf Kalla, serta Menkopolhukam yakni Luhut Binsar Panjaitan dan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
"Mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menkopolhukam, Panglima TNI, Kapolri, Pangdam (Jaya), Kapolda dan beberapa menteri lainnya, bahkan Kepala BNPT yang saat ini juga hadir," beber Munarman dalam eksepsinya.
Baca juga: Dua Polisi Tak Ajukan Eksepsi, Kuasa Hukum Sesalkan Tindakan Rizieq Shihab yang Tak Kooperatif
Lantas dirinya menegaskan, jika dakwaan yang dijatuhkan jaksa itu benar, di mana dirinya dituduh sebagai orang yang terlibat dalam agenda teror, sehingga menimbulkan rasa takut terhadap orang secara meluas, atau untuk menimbulkan korban yang bersifat massal, melalui tindakan kekerasan, pembunuhan atau penghilangan nyawa, perampasan kemerdekaan, pengeboman atau perusakan fasilitas publik lainnya.
Maka kata dia, sejatinya seluruh pejabat yang hadir itu saat ini sudah berada di alam lain, dalam artian meninggal dunia.
Sebab, menurut dia, Aksi 212 tahun 2016 yang dihadiri para pejabat tinggi itu dinilai menjadi sebuah kesempatan yang besar bagi orang yang memiliki paham teroris.
"Maka sudah dapat dipastikan bahwa seluruh pejabat tinggi yang hadir di Monas tanggal 2 Desember 2016 tersebut sudah pindah ke alam lain," ujar Munarman.
"Namun, faktanya, para pejabat tinggi negara aman dan baik-baik saja. Bahkan bisa menjabat terus hingga saat ini," tukasnya.
Diketahui, dalam perkara ini, eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) itu didakwa menggerakkan orang lain untuk melakukan tindakan terorisme. Aksi Munarman itu dilakukan di sejumlah tempat.
"Munarman dan kawan-kawan merencanakan atau menggerakkan orang lain untuk ancaman kekerasan untuk melakukan tindak pidana teroris," kata jaksa dalam persidangan, Rabu (8/12/2021).
Atas perkara ini, Munarman didakwa melanggar Pasal 14 Juncto Pasal 7, Pasal 15 juncto Pasal 7 serta atas Pasal 13 huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU juncto UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas UU 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.