TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengungkapkan sudah 93 tahun berlalu pelaksanaan Kongres Perempuan.
Momen Kongres Perempuan III pada 1993 kemudian ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Ibu.
Meski telah puluhan tahun berlalu, Andy mengungkapkan hingga kini perempuan Indonesia belum juga mendapatkan rasa aman dari kekerasan.
"Di sisi lain, pada 2021 ini perempuan Indonesia belum mendapatkan rasa aman dari ancaman kekerasan, terutama kekerasan seksual yang bisa terjadi di berbagai ranah kehidupan, baik itu di ranah personal dan rumah tangga, di tempat kerja, di lembaga pendidikan, serta di komunitas," ujar Andy melalui keterangan tertulis, Rabu (22/12/2021).
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, sepanjang tahun 2020 terjadi 299.991 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke berbagai lembaga pengada layanan.
Kekerasan seksual menduduki urutan tertinggi yang 45.6 persen yang terjadi di ranah publik atau komunitas, dan 17,8 persen di ranah personal atau KDRT.
Baca juga: Peringati Hari Ibu, PPP Berikan Penghargaan pada Perempuan Inspiratif
Peringkat pertama adalah inses dengan 882 kasus. Disusul oleh perkosaan yang berjumlah 792 kasus.
"Perempuan dengan disabilitas pun tak luput dari tindak kekerasan seksual. Bahkan dari seluruh jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas, 79 persen adalah kekerasan seksual," kata Andy.
Kondisi dunia pendidikan, kata Andy juga patut menjadi keprihatinan dan perhatian serius.
Menurut Andy, berita kekerasan seksual di Lembaga Pendidikan terus mewarnai sejumlah media.
Berdasarkan CATAHU Komnas Perempuan di mana kekerasan di lembaga pendidikan menduduki 4,2 persen.
Pelaku kekerasan seksual ini justru berprofesi sebagai pendidik, yaitu guru, guru ngaji/ustad, tokoh agama dan dosen.
"Kekerasan seksual ini terjadi karena ada relasi kuasa antara korban dan pelaku. Berdasar sejumlah kasus yang ada, kasus baru terungkap beberapa tahun kemudian setelah pelaku memakan banyak korban," tutur Andy.
Selain itu, budaya bungkam masih mengakar dalam masyarakat. Ada anggapan bahwa kekerasan seksual sebagai aib yang harus ditutupi.
Sehingga menyebabkan banyak korban kekerasan tidak mendapat perlindungan dan keadilan. Selain itu terjadi intimidasi yang dialami korban.
"Sementara itu, kebijakan yang diharapkan menjadi payung hukum bagi para korban kekerasan seksual untuk mendapat perlindungan dan keadilan, yaitu Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tak kunjung disahkan," pungkas Andy.