Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjelang akhir tahun 2021 banyak peristiwa yang mewarnai perjalanan kemaritiman Indonesia.
Selama hampir dua tahun sektor ini pun tidak luput menjadi korban keganasan Pandemi Covid-19. Kondisi ini telah mengubah banyak hal.
Ada beberapa hal yang perlu dievaluasi di sektor kemaritiman.
Apalagi semenjak dicanangkannya visi Poros Maritim Dunia oleh Presiden Joko Widodo. Berbagai pelaksanaan pembangunan untuk memajukan kemaritiman Indonesia terus berkembang.
Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT., M. Mar, Pengamat Maritim masih banyak kapal penangkap ikan asing yang mengobok-obok wilayah maritim Indonesia, mengambil ikan tanpa izin.
Bahkan ada juga penjaga pantai dan kapal militer dari negara lain terutama yang menjadi sorotan adalah negara China yang ikut masuk ke perairan Indonesia.
Baca juga: Terpilih Menjadi Anggota Dewan IMO Kategori C, Indonesia harus Mampu Perjuangkan Kedaulatan Maritim
"Mengutip data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sepanjang 2021, KKP telah menangkap 140 kapal, terdiri dari 92 kapal ikan Indonesia yang melanggar ketentuan dan 48 kapal ikan asing yang mencuri ikan. Kapal ikan asing yang ditangkap merupakan 17 kapal berbendera Malaysia, 6 kapal berbendera Filipina dan 25 kapal berbendera Vietnam," kata Capt. Hakeng pada jurnalis di Jakarta, (28/12/2021).
"ZEE adalah laut internasional, karenanya di sana hak kita hanya eksplorasi, eksploitasi dan konservasi. Hanya tiga itu saja kalau kita bicara ZEE. Di ZEE kita berbicara zona maritim.
Kewenangan kita untuk menangkap kapal ikan berbendera asing di wilayah ZEE itu, jika kapal tersebut sudah atau sedang melakukan kegiatan mengambil ikan yang ada di sana," kata pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI) di sektor kemaritiman Indonesia.
Hal lain yang menjadi perhatian dari nakhoda berpengalaman di kapal-kapal tangker besar ini pula adalah soal kurang tepatnya protes China untuk penghentian pengeboran minyak dan gas di laut Natuna Utara di akhir tahun 2021 ini.
"Permintaan itu tidak tepat, karena pengeboran atau pendirian rig di laut Natuna Utara itu masih berada di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Baca juga: Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia dan Negara-negara ASEAN, Simak Penjelasannya
Protes China itu hanya berdasarkan 9 garis putus (9 Dash Line) di Laut China Selatan. Padahal keabsahan dan legalitas 9 garis putus tidak memiliki dasar hukum internasional dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea, Konvensi PBB tentang Hukum Laut).
Dengan demikian tidak dapat diakui secara hukum, legal standing Indonesia secara maritim sangat jelas disana," tegasnya.