Dengan demikian, mayoritas partai atau tujuh partai politik penghuni DPR RI kini menjadi bagian dari pendukung pemerintah.
Sementara, PKS dan Demokrat menjadi dua parpol berada di luar pemerintahan alias oposisi.
Jika digabungkan, kedua parpol itu hanya memiliki 18 persen kursi 15,98 persen suara.
Hal ini tentu terlihat tak ideal, karena bagaimanapun keberadaan parpol oposisi sangat dibutuhkan untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif.
Di sisi lain, PKS mengingatkan bahwa koalisi yang gemuk tersebut jangan sampai bergerak lamban dan minim ide-ide menyejahterakan rakyat.
Sebab, koalisi besar tak memastikan regulasi yang dibuat akan diterima masyarakat.
"Jangan justru menjadi koalisi yang obesitas, berbobot besar namun lamban dan minim inisiatif," kata Ketua Departemen Politik DPP PKS Nabil Ahmad Fauzi, kepada Tribunnews.com, Kamis (26/8/2021).
UU Cipta Kerja Dinyatakan Inkonstitusional, Produk Legislasi Tuai Kritik
Selain kondisi parlemen yang kehilangan peranan oposisi, hal lain yang tersorot mata publik adalah kinerja DPR menghasilkan produk Undang-Undang.
Satu di antaranya ditunjukkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Dalam catatan Tribunnews, Presiden Jokowi mengirimkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada 7 Februari 2020.
Dan pembahasannya baru dimulai 27 April 2020 oleh Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk Badan Legislasi (Baleg).
Setelah melalui pembahasan sekitar 6 bulan, DPR RI mengesahkan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 pada Rapat Paripurna.
Dalam rapat itu sempat diwarnai aksi walkout dari Fraksi Partai Demokrat.