TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai DPR turut berkontribusi atas terulangnya kesalahan pemerintahan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal tersebut disampaikannya menanggapi polemik pengangkatan eks anggota Tim Mawar Mayjen TNI Untung Budiharto sebagai Pangdam Jaya beberapa waktu lalu.
Kesalahan yang dimaksud Usman adalah pengangkatan perwira-perwira yang terimplikasi kasus HAM untuk menduduki struktur komando.
Ia mencontohkan di era pemerintahan SBY, Untung menjabat sebagai Komandan Yonif 733/Masariku (2004—2005), Komandan Kodim 1504/Ambon (2005—2006), dan Komandan Korem 045/Garuda Jaya (2013—2014).
Menurut Usman, seharusnya DPR mendesak pelaksanaan empat rekomendasi Pansus pada 2009 terkait kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis yang melibatkan Untung Budiharto dan kawan-kawannya.
Rekomendasi tersebut di antaranya, kata Usman, DPR meminta pemerintah mencari kejelasan nasib dan keberadaan mereka yang masih hilang.
Baca juga: Soal Polemik Pangdam Jaya, KontraS Singgung Pidato Jokowi pada Hari HAM 2021
Kemudian, DPR meminta pemerintah untuk menuntut pelakunya di pengadilan HAM ad hoc.
Selanjutnya, kata dia, DPR meminta pemerintah memulihkan hak korban.
Terakhir, kata Usman, DPR juga meminta pemerintah meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Tidak dipegangnya rekomendasi tersebut, kata Usman, memperlihatkan anggota DPR mengidap "penyakit politik short term memory lost" dan sengaja melupakan kejahatan yang dilakukan Tim Mawar ketika itu.
"Pragmatisme politik adalah faktor utama yang menyebabkan DPR melupakan kejahatan itu. Mayoritas anggota DPR hanya membeo pada pimpinan partainya," kata Usman ketika dihubungi Tribunnews.com pada Senin (10/12/2021).
Pengetahuan yang sebenarnya memadai, lanjut dia, justru hilang seketika karena loyalitas politik kepada elite dan bukan kepada rakyat yang menjadi korban politik kejahatan tersebut.
"DPR menjadi kumpulan orang saja yang membeo pada kekuasaan, bukan lagi kumpulan gagasan politik tentang keadilan," kata Usman.
Menurut Usman seharusnya Komisi I DPR RI bisa bersikap cerdas dan cermat atas pengangkatan Untung.
Terlebih, kata dia, kesalahan tersebut bukan yang pertama.
Usman menegaskan kebijakan mengangkat perwira tertentu yang pernah tersangkut pelanggaran HAM berat untuk menduduki jabatan struktur komando utama atau fungsional atau posisi strategis lainnya di lingkungan militer jelas keliru.
Undang-Undang 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional (UU TNI) Indonesia, kata dia, memuat ketentuan-ketentuan yang mewajibkan pemerintah untuk mendasarkan kebijakannya pada hak asasi manusia.
UU TNI menegaskan bahwa TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, bukan kepentingan politik pemerintah yang berkuasa.
Selain itu, kata dia, UU TNI juga menegaskan pengembangan itu harus mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi.
"Hal lain yang juga tidak dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah adalah revisi atas UU Pengadilan Militer yang selama ini cenderung dipakai oleh elite TNI untuk menghindari risiko maksimal yang dapat dialami mereka dengan cara menyalahkan bawahan mereka," kata Usman.