TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie mengingatkan Kapolri untuk menepati janjinya terkait pengimplementasian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Hal tersebut merepons didatanganinya kediaman Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti dan Aktivis HAM sekaligus Direktur Lokataru Haris Azhar oleh anggota dari Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan pada Selasa (18/1/2022).
Ikhsan mengatakan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik yang didalilkan seharusnya tidak dapat menjadi dasar yang kuat untuk menjerat para pembela HAM.
Hal tersebut, kata dia, mengingat yang mereka lakukan adalah murni didasarkan pada hasil penelitian yang obyektif, independen, dan ilmiah.
Ia mengatakan janji Polri Presisi dan pengarusutamaan restorative justice, akan diuji dalam penanganan pelaporan atas sejumlah aktivis.
Selain itu menurutnya perlu juga digarisbawahi bahwa pembatasan kebebasan berpendapat akan mematikan nalar kritis warga yang justru dibutuhkan untuk memperkuat dan mendewasakan dalam proses berdemokrasi.
Baca juga: Dua Kali Mangkir Pemeriksaan, Haris Azhar Heran Polisi Jemput Padahal Sudah Kirim Surat ke Penyidik
"SETARA Institute kembali mengingatkan Kapolri untuk menepati janjinya dalam mengimplementasikan UU ITE secara selektif dengan mengedepankan sifat persuasif," kata Ikhsan ketika dikonfirmasi Tribunnews.com pada Selasa (18/1/2022).
Selain itu, kata dia, Kepolisian semestinya turut berkontribusi dalam menjamin terbukanya ruang-ruang demokrasi melalui jaminan atas kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap warga negara.
Dengan demikian, lanjutnya, seharusnya pihak Kepolisian menghentikan upaya kriminalisasi yang mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara atau tidak menindaklanjuti laporan-laporan yang mencerminkan hal demikian.
"SETARA Institute berulangkali telah menyampaikan bahwa sekalipun langkah hukum adalah hak warga negara, namun SETARA menyayangkan jalan dan cara pintas para pejabat negara dalam merespons kritik," kata dia.
Seharusnya, lanjut Ikhsan, kritik dijawab dengan kritik bantahan, riset dibalas dengan produk riset dan seterusnya.
Hal tersebutlah, kata dia, yang menyehatkan demokrasi di Indonesia.
"Terlebih, kritik yang disampaikan bukanlah tuduhan tak berdasar, melainkan beranjak pada hasil penelitian yang tentunya telah dilakukan secara obyektif, rasional, dan independen melalui berbagai metode ilmiah yang telah divalidasi," kata Ikhsan.
Menurutnya sikap pejabat publik yang membalas kritikan dengan ancaman pidana hanya memperlihatkan arogansi dan sikap antikritik mereka.