"Sehingga semangat ber-Islam tidak dicurigai sebagai sikap keras atau radikal," kata dia.
"Pada saat yang sama sikap toleran juga tidak berarti mengabaikan batas-batas yang telah ditetapkan dalam agama."
"Bernegara tidak bisa dikerjakan dengan fanatisme tanpa mengayomi yang berbeda,” sambung Zulkifli Hasan.
Menurut Wakil Ketua MPR RI ini, posisi agama dan negara belakangan ini kembali dipersoalkan, padahal hal tersebut merupakan diskusi yang sudah selesai.
Hubungan antara agama dan negara dalam konsep Indonesia bersifat simbiotik, menjadi fusi sinergis yang harmonis.
Dikatakan Zulhas, munculnya perbenturan-perbenturan belakangan ini akibat digunakannya politik identitas.
Sehingga harus diantisipasi, tafsir beragama dalam politik harus bisa mengayomi, mendamaikan, berada di tengah.
Publik Islam, kata dia, perlu memahami dan mengimplementasikan cara beragama yang tengahan atau moderat.
“Sudah saatnya kita membumikan kembali Islam Tengah, menjadikannya perbincangan publik Islam yang utama."
"Islam Tengah merupakan sebuah konsep keislaman dan jalan kebangsaan yang perlu menjadi panduan bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari,” kata Zulhas.
Merespons hal ini, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyebut pidato kebudayaan yang disampaikan Zulhas ini memiliki peran yang penting,
“Bisa mengikis politik identitas dan meningkatkan kualitas demokrasi kita,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menilai jarang ada tokoh politik, ketua umum parpol, yang menyampaikan pidato kebudayaan.
“Ini merupakan sesuatu yang sangat baik dan perlu kita apresiasi," ucap Haedar.