Meningkatnya jumlah surat kabar berbahasa Belanda di Nusantara mengakibatkan menjamurnya surat kabar lain yang berbahasa Melayu dan Jawa.
Namun, surat kabar tersebut masih berada di bawah redaktur orang-orang Belanda, seperti "Bintang Timoer" (Surabaya, 1850), "Bromartani" (Surakarta, 1855), "Bianglala" (Batavia, 1867), dan "Berita Betawie" (Batavia, 1874).
"Medan Prijaji" milik Tirto Adhi Soerjo terbit pada 1907, di Bandung.
Medan Prijaji adalah pelopor pers nasional karena diterbitkan oleh pengusaha pribumi untuk pertama kali.
Sayangnya, ketika Jepang berhasil menaklukkan Belanda dan menduduki Indonesia pada 1942, kebijakan pers turut berubah.
Semua penerbit yang berasal dari Belanda dan China dilarang beroperasi.
Sebagai ganti pemberangusan itu, penguasa militer Jepang menerbitkan sejumlah surat kabar sendiri.
Pada masa penjajahan Jepang, ada lima surat kabar yaitu Jawa Shinbun yang terbit di Jawa, Boernoe Shinbun di Kalimantan, Celebes Shinbun di Sulawesi, Sumatra Shinbun di Sumatra dan Ceram Shinbun di Seram.
Baca juga: Hari Pers Nasional, Kapolda Metro Jaya: Wartawan Adalah Sahabat, Jangan Pernah Bosan Mengkritik
Pers Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, kehidupan pers mulai radikal.
Muncul kekuatan-kekuatan politik dari golongan nasionalis, agama, komunis dan tentara pada era 1950-1960.
Pada masa ini muncul LKBN Antara pada 13 Desember 1937, RRI pada 11 September 1945, dan organisasi PWI pada 1946 (yang kemudian menjadi cikal bakal Hari Pers Nasional).
Selain surat kabar, pada masa itu juga muncul stasiun televisi pemerintah yaitu TVRI pada 1962.
Pada September hingga akhir 1945, pers nasional semakin kuat ditandai dengan penerbitan "Soeara Merdeka" di Bandung dan "Berita Indonesia" di Jakarta, serta beberapa surat kabar lain, seperti "Merdeka", "Independent", "Indonesian News Bulletin", "Warta Indonesia", dan "The Voice of Free Indonesia".