Sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Yahya Muhaimin memang sudah tertarik pada dunia politik.
Ketertarikannya terhadap dunia politik muncul karena dia sering membaca koran.
Saat Pemilu 1955, Yahya Muhaimin masih berusia 12 tahun.
Meskipun masih anak-anak, ia sudah menyaksikan bagaimana para politisi saat itu berebut massa melalui rapat-rapat umum yang mereka adakan.
Semasa hidup, Yahya Muhaimin selain dikenal sebagai pakar hubungan internasional, ia juga seorang pengamat politik dan militer.
Terlebih lagi, daerah lahirnya di Bumiayu pernah dijadikan area pertempuran antara TNI dan Darul Islam (DI).
Yahya Muhaimin mengaku saat masih kecil dirinya kerap mendengar derap sepatu lars, deru yang dikendarai perang, aba-aba militer, desingan peluru, dan ledakan mortir.
Sebelum menjadi pengajar, Yahya Muhaimin ternyata pernah menghindari profesi guru.
Ibunya yang berprofesi sebagai pendidik pernah membujuk dirinya menjadi pengajar.
Namun, akhirnya Yahya Muhaimin tidak bisa mengelak dari diinginkan ibunya tersebut.
Dua tahun setelah merampungkan studi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM pada 1973, anak kedua dari tujuh bersaudara ini mulai menyadari, menjadi guru baginya memang tidak terelakkan.
Ia kemudian menjadi dosen hubungan internasional di almamaternya.
Sekitar 11 tahun kemudian, ia pergi ke Institut Teknologi Massachusetts, AS, dan meraih gelar dokter ilmu politik dengan disertasi The Politic of Client Businessmen; Indonesian Economic Policy 1950-1980.
Selama dua tahun berikutnya Muhaimin mengelola Program S2 Fakultas Sospol UGM.
Kemudian ia dipercaya menjadi Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM (1996-1999) dan kemudian menjadi Konsulat Pendidikan di Washington DC.