“Dengan demikian, Permenaker ini menjilat ludah sendiri dari kebijakan Presiden Jokowi dalam upaya membantu buruh yang ter-PHK yang kehilangan pendapatannya agar bisa bertahan hidup dari JHT yang diambil 1 bulan setelah PHK,” ujarnya.
Harus Direvisi
Kritik juga dilontarkan oleh pengamat ekonomi, Rahma Gafmi.
Dikutip dari Tribunnews, peraturan ini harus direvisi dan juga dipisahkan soal pekerja yang pensiun dan terkena PHK.
“Harus dipisahkan antara orang benar-benar memasuki masa pensiun dan orang kena PHK. Nah hal ini tidak sama dengan orang yang memasuki masa pensiun penuh,” kata Rahma pada Jumat (11/2/2022).
Selain itu, ia juga menilai perlu adanya kebijakan terpisah karena menurutnya orang terkena PHK pastinya membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Tidak bisa disamaratakan semua usia 56 tahun,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurutnya Permenaker ini harus direvisi.
“Harus diubah itu peraturan menteri, tidak bisa semua disamakan,” tuturnya.
Adanya Petisi
Tidak hanya kritik, petisi pun dilakukan masyarakat terkait aturan terbaru mengenai pembayaran manfaat JHT.
Petisi yang diinisiasi oleh Suharti Ete di situs change.org ini telah mendapat dukungan hingga 117.383 orang hingga hari ini Sabtu (12/2/2022) pukul 12.22 WIB.
Baca juga: KSPSI Kritik JHT Baru Bisa Cair di Usia 56 Tahun, Permenaker Nomor 02 Tahun 2022 Sengsarakan Buruh
Isi dari petisi tersebut berisi penolakan soal aturan terbaru ini dan menjelaskan bahwa JHT merupakan dana yang dibutuhkan oleh buruh atau pekerja yang mengalami PHK untuk modal usaha.
“Karenanya mari kita suarakan bersama-sama untuk tolak dan #BatalkanPermenakerNomor2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua,” tulis petisi tersebut.
Selain ditujukan kepada Menteri Ketenagakerjaan, petisi ini juga ditujukan kepada Presiden Jokowi.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Sri Juliati/Dennis Destryawan)(Kompas.com/Ade Miranti Karunia)
Artikel lain terkait Kontroversi JHT