TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjawab desakan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) terkait pengambilalihan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) eks Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto.
Menurut Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, pihaknya tidak bisa serta merta mengambil alih suatu perkara yang sedang ditangani aparat penegak hukum lain.
Sebab, KPK patuh pada aturan hukum yang berlaku.
"Terkait hal tersebut, kami sampaikan bahwa pengambilalihan suatu kasus oleh KPK dari aparat penegak hukum lain tidak bisa serta merta begitu saja dilakukan," kata Ali dalam keterangannya, Senin (14/2/2022).
Dikatakan Ali, ada aturan main yang ditegaskan dalam undang-undang sebagai syarat pengambilalihan suatu kasus, yakni Pasal 10 A UU KPK.
"Tentu ada syarat, mekanisme proses dan aturan main yang telah ditegaskan dalam UU di antaranya disebutkan di sana ada beberapa syarat sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 10 A UU KPK," katanya.
Diberitakan, MAKI mendesak KPK dari Bareskrim Polri dan menambah tersangka baru dengan UU TPPU.
Baca juga: Gunakan Ponsel di Lapas, ICW Desak Menkumham Pindahkan Setya Novanto ke Nusakambangan
"Setidaknya pada pengusaha Made Oka Masagung yang diduga membantu Setya Novanto menyembunyikan uang hasil korupsi e-KTP dengan modus transaksi investasi di Singapura," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Minggu (13/2/2022).
Boyamin Saiman mengatakan perkara dugaan TPPU terkait dengan mega skandal korupsi proyek e-KTP yang merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun itu mesti diusut tuntas.
"Harus kena (TPPU)," kata Boyamin.
Bareskrim sudah melakukan penyidikan dugaan TPPU atas diri Setya Novanto, tapi penanganan perkara itu mangkrak.
MAKI pernah mengajukan gugatan praperadilan terkait penanganan dugaan TPPU Setya Novanto tersebut.
"MAKI akan gugat praperadilan yang kedua bulan Maret nanti," kata Boyamin.
Mengapa tindak pidana pencucian uangnya perlu diusut tuntas? Sebab, korupsi e-KTP sangat rumit dan penuh liku.
Dalam persidangan, terungkap fakta adanya metode baru untuk mengalirkan duit hasil kejahatan ke luar negeri tanpa melalui sistem perbankan nasional.
Duit itu melalui perjalanan berliku melintasi enam negara, yakni Indonesia, Amerika Serikat, Mauritius, India, Singapura, dan Hong Kong.
"Untuk itu tidak berlebihan rasanya jika penuntut umum menyimpulkan inilah korupsi bercita rasa TPPU," kata Jaksa KPK Irene Putri dalam sidang pembacaan tuntutan pada 29 Maret 2018.
Sebagaimana diketahui, kasus bermula saat APBN menggelontorkan proyek e-KTP secara nasional.
Sejumlah petinggi DPR bergerak mengendus proyek itu.
Anggaran pun di-mark-up dengan uang hasil korupsi dibagi-bagikan ke banyak pihak, termasuk Setya Novanto.
Akhirnya, Setya Novanto ditangkap setelah melakukan serangkaian drama berkepanjangan.
Mereka akhirnya dihukum dan dipenjara, yaitu:
1. Eks Ketua DPR Setya Novanto dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Bekas Ketua Umum Partai Golkar itu juga diwajibkan membayar uang pengganti 7,3 juta dolar AS dikurangi Rp5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.
2. Pengusaha Andi Narogong dihukum 15 tahun penjara.
Baca juga: Gaya Perlente Setya Novanto, meski Dipenjara Tetap Memakai Jam Mewah dan Tas Louis Vuitton
3. Pengusaha Made Oka Masagung, dihukum 10 tahun penjara. Ia kini mendekam di LP Tangerang.
4. Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi dihukum 10 tahun penjara. Irvanto adalah keponakan Setya Novanto.
5. Mantan anggota DPR Markus Nari dihukum 8 tahun penjara.
6. Mantan anggota DPR Miryam S Haryani dihukum 5 tahun penjara karena memberikan kesaksian palsu di sidang Sugiharto-Irman. Miryam kin kembali jadi tersangka untuk kasus e-KTP.
7. Mantan Dirjen Dukcapil Irman dihukum 12 tahun penjara.
8. Mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil Sugiharto dihukum 10 tahun penjara.
9. Pengacara Fredrich Yunadi, dihukum 7,5 tahun penjara karena menghalang-halangi penyidikan KPK ke Setya Novanto.
10. dr Bimanesh Sutarjo dihukum 4 tahun penjara. dr Bimanesh berperan sebagai dokter RS Medika Permata Hijau yang membantu rekayasa sakit Setya Novanto di atas.
11. Paulus Tannos, statusnya kini buron dan diduga bersembunyi di Singapura. Di kasus ini, Tannos adalah Dirut PT Sandipala Arthaputra.
12. Isnu Edhi Wijaya, status tersangka.
13. Husni Fahmi, status tersangka.
Saat ini, Setya Novanto sedang mengajukan peninjauan kembali (PK) tapi belum diputus Mahkamah Agung (MA).
PK Setya Novanto masuk MA pada 6 Januari 2020.
Kemudian berkas didistribusikan ke majelis hakim pada 27 Januari 2020.
Duduk sebagai ketua majelis Prof Surya Jaya dengan anggota Sri Murwahyuni dan Sinintha Sibarani.
Duduk sebagai panitera pengganti perkara 32 PK/Pid.Sus/2020 adalah Raja Mahmud.