Sekalipun BPN hanya memiliki kewenangan sebesar 33 persen dari seluruh tanah di Indonesia dan KLHK memiliki kewenangan seluas 67 persen.
"Tentang konflik yang Pak menteri sebutkan, konflik pertanahan kewenangan ATR dan kewenangan KLHK, saya tidak setuju dengan istilah Pak Menteri. Kalau alasannya karena mereka (KLHK) punya kewenangan 67 persen, lama-lama habis tanah kita," ucap Junimart.
Oleh karena itu, Junimart menyatakan pihaknya akan segera melakukan rapat gabungan yang menghadirkan Menteri LHK dan Menteri ATR/BPN untuk melakukan pembahasan dan penyelesaian terkait banyaknya konflik pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan KLHK.
"Atas masalah ini kami akan mengundang Kementerian ATR BPN dan KLHK dalam rapat gabungan, ini harus clear, hak rakyat adalah hukum tertinggi. Jadi tidak ada lagi pemukiman masyarakat yang sudah dihuni puluhan tahun secara turun temurun tiba-tiba bisa di klaim menjadi kawasan hutan," ujarnya.
Sebelumnya dalam rapat kerja itu, Menteri ATR BPN Sofyan Djalil memaparkan sepanjang tahun 2021, pihaknya telah menangani sebanyak 751 kasus konflik pertanahan.
"Sebanyak 319 kasus di antaranya ditindak lanjuti, sedangkan 310 belum bisa ditindaklanjuti dan 122 kasus terpaksa tidak dapat ditindaklanjuti atau ditolak karena bukan kewenangan ATR BPN melainkan kewenangan dari KLHK. Sedangkan dari 319 kasus yang ditindaklanjuti ditemukan diantaranya sebanyak 63 kasus mafia tanah," ujar Sofyan Djalil saat memberikan pemaparannya.
Atas kesepakatan bersama rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR bersama Kementerian ATR BPN itu, diagendakan kembali dilanjutkan pada 14 Februari 2022 mendatang.
Guna pendalaman atas pemaparan menteri ATR BPN menyangkut penanganan masalah pertanahan dan tentang Bank Tanah.(Chaerul Umam/Lendy Ramadhan)