Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terhadap UU Cipta Kerja dari sudut positif, dapat dipresiasi.
Namun putusan MK dari sisi kepastian hukum tidak mudah dimengerti.
Hal ini disampaikan Ketua Umum HIMA PDH UKI I Wayan Sudirta dalam acara Webinar Diskusi Hukum Himpunan Mahasiswa Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia (HIMA PDH UKI) di Jakarta, Sabtu (19/2/2022).
“MK telah membuka lebar pintu partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Putusan MK tersebut tegas menyatakan bahwa partisipasi masyarakat harus dilakukan secara bermakna/meaningfull partisipation. Dari sudut pandang ini, masyarakat sebagai pemilik kedaulatan diberikan angin segar untuk berperan aktif dalam law making process," kata Wayan.
Selanjutnya, Wayan menyampaikan bahwa ada catatan kritis terhadap Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Baca juga: Wayan Sudirta Dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pengurus HIMA PDH UKI
Pertama, MK tidak memberikan kepastian hukum secara mutlak. Kedua putusan tersebut juga dinilai sebagai bentuk intervensi kekuasaan kehakiman terhadap eksekutif.
Wayan pun mengutip Ron Fuller dalam buku Internal Morality of Law yang menyatakan salah satu parameter kepastian hukum adalah putusan yang mudah dimengerti.
“Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru masuk dalam kategori putusan yang ambigu dalam konsepsi Fuller," kata Wayan.
Acara webinar dibuka oleh Bintang Simbolon sebagai Direktur Pasca Sarjana UKI dan Prof. John Pieris sebagai Kaprodi Program Doktor Hukum (PDH) UKI.
Baca juga: Anggota Banggar Wayan Sudirta Siap Dorong Keadilan Fiskal di Bali
Dalam sambutannya, John Pieris mengatakan bahwa putusan MK cukup mengejutkan banyak pihak dengan diksi yang sedikit susah dimengerti bahkan oleh pemerhati ilmu hukum.
Tapi yang jelas putusan MK memerintahkan perubahan terhadap 2 UU yaitu UU Cipta Kerja sendiri dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
”Catatan kritis saya kepada pembentuk undang-undang adalah tidak etis kalau mengatakan pihak yang tidak sepakat dengan UU ini, ajukan yudisial riview ke MK. Simplifikasi seperti ini sangat tidak sehat,” paparnya.
Dalam acara diskusi ini menghadirkan 6 Narasumber. Adiya Daswanta dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa putusan MK layak diapresiasi karena membuka proses formil pembentukan UU Cipta kerja.