Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung terhadap terdakwa Herry Wirawan masih menjadi bahan diskusi banyak kalangan.
Pasalnya, Mejelis Hakim memerintahkan negara yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (Kemen PPPA) untuk membayar kewajiban restitusi atau ganti rugi Rp 331 juta ke santriwati korban rudapaksa Herry Wirawan.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani pun memberikan sejumlah catatan yang mestinya diberikan dengan mengambil refleksi dari kasus Herry Wirawan ini.
Dimana, kata Arsul, dari sisi hukum materil dirinya melihat bahwa ketentuan-ketentuan hukum materil yang terkait dengan retribusi dalam peraturan perundang-undanganan, belum terintegrasi secara tuntas dengan sistem pidana.
Baca juga: Kejati Jabar Ajukan Banding, Minta Herry Wirawan Dihukum Mati
Hal itu disampaikan Arsul Sani dalam diskusi bertajuk Restitusi Vs Kompensasi Bagi Korban Kekerasan Seksual yang digelar oleh LPSK secara virtual, Rabu (23/2/2022).
"Tidak dijelakan restitusi ini merupakan pidana pokok atau tambahan karena restitusi tidak diatur dalam KUHP sebagai salah satu pidana," kata Arsul.
Politisi PPP ini pun menjelaskan bahwa tidak dijelaskan pula siapa yang dimaksud pihak ketiga yang wajib memberikan ganti rugi kepada korban atau keluarganya.
"Ini definisi retribusi pada UU perlindungan saksi dan korban," tambahnya.
Arsul juga menyoroti kalau dilihat secara sepintas bahwa putusan pengadilan dalam kasus Herry Wirawan ini mengkonversi restitusi yang semula merupakan tanggung jawab pelaku menjadi kompensasi, yang merupakan tanggung jawab negara.
Padahal melalui asesmen LPSK diketahui bahwa ada harta kekayaan Herry.
"Meskipun ini saya belum tahu persis apakah atas nama Herry Wirawan pribadi atau nama yayasannya tapi itu yang dapat dipakai untuk menutupi jumlah ganti rugi yang diputuskan oleh pengadilan," ucap Arsul.
Meski begitu, Wakil Ketua MPR ini berpendapat bahwa sebagai sebuah putusan pengadilan tentu dan perlu menghormati.
"Namun tentu kita melihat wajar juga ketika sebagian kalangan merasa kemudian terusik rasa keadilannya," jelasnya.