TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menggali dan merefleksikan setiap nilai warisan para pendahulu bangsa harus menjadi sebuah upaya tanpa henti sebab yang dibutuhkan dalam keseharian adalah implementasi nilai-nilai itu dalam setiap tindakan.
"Mengenal diri sebagai bagian dari Indonesia saja tidak cukup. Dibutuhkan transformasi terus menerus sejalan dengan putaran waktu. Upaya mengimplementasikan setiap nilai kebangsaan dalam perilaku sebagai wujud mengisi kemerdekaan sekaligus memperkokoh persatuan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema "Menggali Nilai Kemerdekaan, Keberagaman dan Persatuan Indonesia" yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (3/2/2022).
Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Hasanuddin Ali (Founder & CEO Alvara Research Center), Sunanto (Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah) dan Meike Malaon (Director Dayalima Abisatya salah satu penggagas Nenilai) sebagai narasumber.
Selain itu, menghadirkan Willy Aditya, S.Fil, M.D.M (Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI) dan
Abdul Kohar (Anggota Dewan Redaksi Media Group) sebagai penanggap.
Baca juga: Kepala BPIP Ajak TNI AD Populerkan Salam Pancasila sebagai Lambang Mempersatukan Masyarakat
Menurut Lestari, Indonesia adalah negara besar yang terdiri dari 17.000 pulau, beragam suku-bangsa, bahasa, agama dan kepercayaan serta adat istiadat yang melekat.
Kesadaran akan keragaman itu, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, sudah ada sejak zaman dahulu hingga semangat nasionalisme digaungkan oleh sekelompok pemuda yang kemudian bersumpah demi persatuan dan kesatuan dalam Sumpah Pemuda.
Namun, ujar Rerie, realitas dunia kini dengan kemajuan peradaban manusia memungkinkan ragam peristiwa terjadi seperti perang, konflik ideologi dan tantangan lain dalam setiap sektor kehidupan.
Paradoks kehidupan modern itu, ujarnya, harus disikapi dengan memperkuat pemahaman kita sebagai bagian dari Indonesia yang beragam.
Dalam realitas keberagaman, tambah Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, kesadaran akan kesatuan harus menjadi sebuah keniscayaan.
Kesadaran tersebut, tegas Rerie, menjadi landasan untuk menanam dan mengimplementasikan nilai-nilai kebangsaan.
Bahwa keragaman itu, tambahnya, memperkaya dan merupakan anugerah mesti terealisasi dalam cara hidup berbangsa dan bernegara.
Director Dayalima Abisatya salah satu penggagas Nenilai, Meike Malaon mengungkapkan hasil survei Nenilai pada 2020 terhadap 50.452 responden, menunjukkan bahwa mayoritas responden mengharapkan nilai-nilai yang mengarah pada kepentingan bersama seperti adil dan keadilan, keadilan sosial, hak azasi manusia, gotong-royong dan demokrasi.
Nenilai merupakan sebuah gerakan inisiatif untuk membangun Indonesia maju dan dewasa yang digagas oleh Bappenas, Indika Energy, Dayalima Abisatya, Pantarei dan Stoik Trisula.
Namun, ujar Mieke, nilai-nilai yang dirasakan para responden saat ini bukan seperti apa yang diharapkan, seperti birokrasi yang berbelit-belit, korupsi dan sejumlah nilai yang memicu energi negatif di masyarakat.
Temuan tersebut, menurut Mieke, harus menjadi perhatian bersama, agar nilai-nilai yang diharapkan masyarakat dapat direalisasikan.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Sunanto mengungkapkan, berdirinya bangsa Indonesia banyak diwarnai dengan sikap legowo dari para pendiri bangsa saat menentukan nilai-nilai yang menjadi dasar pembangunan bangsa ketika menetapkan ideologi negara.
Namun saat ini kondisi keberagaman yang kita miliki, ujar Cak Nanto, sapaan akrab Sunanto, seringkali dibenturkan pada aktivitas politik terutama saat masuk agenda politik lima tahunan.
Sehingga, ujar Cak Nanto, setiap lima tahun pemahaman kita pada nilai-nilai keberagaman yang kita miliki mulai dari nol lagi.
"Kita masih banyak pekerjaan rumah untuk merealisasikan Indonesia Emas 2045, karena masih banyak kegagapan yang terjadi dalam menghadapi berbagai perbedaan," ujar Cak Nanto.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Willy Aditya mengungkapkan bahwa Indonesia terbentuk dari kumpulan bangsa-bangsa yang menjadi satu negara.
Kondisi tersebut, ujar Willy, sangat rentan sehingga tidak mudah menghadapi realita yang ada seperti saat ini.
Founder & CEO Alvara Research Center, Hasanuddin Ali mengungkapkan hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik pada 2020 menunjukkan populasi penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh generasi muda, gen Z, dan millenial.
Sehingga, jelas Hasanuddin, potensi terjadinya gap antargenerasi terhadap sejumlah isu sangat besar.
Akibatnya, tambah Hasanuddin, keberagaman yang kita miliki saat ini bukan hanya dari sisi etnik dan agama, tetapi juga gap antargenerasi.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Hasanuddin menyarankan untuk dimulai dari sektor pendidikan dengan menghidupkan kembali forum-forum diskusi lintas keilmuan dan menghadirkan literasi keagamaan yang lebih beragam.
Selain itu, tambahnya, manajemen lembaga pendidikan harus menunjukkan kepedulian dan keberpihakan dalam mengatasi intoleransi.
Anggota Dewan Redaksi Media Group, Abdul Kohar mengungkapkan indeks kemajuan sosial Indonesia terhadap toleransi saat ini berada di angka 35,47% dari skala 0-100%, skala 0% untuk tidak toleransi dan 100% untuk sangat toleransi.
Menurut Abdul Kohar, kondisi yang kita hadapi saat ini masih membutuhkan upaya ekstra dari semua pihak dengan berkolaborasi untuk melahirkan kembali nilai-nilai toleransi, di tengah perkembangan teknologi informasi dan media yang sangat complicated. *