TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menjawab sejumlah pihak yang bertanya mengapa nama Soeharto tidak disebutkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang diterbitkan pada 1 Maret 2022 lalu.
Padahal, Letkol Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Komandan Brigade X juga turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menjadi latar belakang diterbitkannya Keppres tersebut.
Mahfud menjelaskan, dalam Keppres tersebut bukanlah buku sejarah.
Baca juga: Masih Ada WNI Belum Kembali ke Tanah Air Karena Terjebak di Medan Tempur dan Positif Covid
Baca juga: Megawati Taat Konstitusi, Tolak Wacana Penundaan Pemilu 2024 dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
Hal tersebut disampaikan Mahfud dalam keterangan video pada Kamis (3/3/2022).
"Ini adalah keputusan presiden tentang titik krusial terjadinya peristiwa yaitu hari yang sangat penting. Ini bukan buku sejarah. Kalau buku sejarah tentu menyebutkan nama orang yang banyak. Ini hanya menyebutkan bahwa hari itu adalah hari penegakkan kedaulatan negara," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, dengan demikian yang disebut dalam Keppres tersebut hanya pimpinan negara yang menggagas dan menggerakkan.
Mereka, kata dia, di antaranya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamnengkubuwono IX, dan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
"Yang lain tidak disebutkan di dalam Keppres itu. Pak Harto tidak disebutkan di Keppres itu, Pak Nasution, Pak Kawilarang, Pak Urip Sumohardjo semua ada di situ, tidak disebutkan, tetapi ini tidak hilang jejak sejarahnya," kata Mahfud.
Baca juga: Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 hingga Ditetapkan Sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara
Mahfud juga menunjukkan buku naskah akademik bertopik Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara.
Buku tersebut, kata Mahfud, hasil seminar yang dibuat oleh Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, serta melibatkan seluruh Pemda di Indonesia.
Selain itu, kata dia, buku tersebut menggunakan lebih dari 100 referensi.
Di dalamnya, kata Mahfud, nama Soeharto selalu ada sebagaimana nama-nama pelaku sejarah lainnya.
"Bahkan pernah di satu halaman itu, nama Pak Harto ditulis dua kali, di halaman 51 itu satu halaman saja tertulis nama Soeharto dua kali. Jadi tidak hilang jejak sejarahnya," kata Mahfud.