Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan saran dan pandangannya terkait permohonan Budayawan Jaya Suprana atas pengujian Undang-Undang (UU) terhadap pasal 222 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) 20% ke Mahkamah Konsitusi (MK).
Satu diantaranya, Enny menoroti terkait legal standing atau kedudukan hukum Jaya selaku prinsipal perseorangan.
Enny meminta Jaya untuk membaca putusan MK sebelumnya terkait permohonan serupa khususnya putusan perkara nomor 66/PUU-XIX/2021.
Ia mengatakan dalam putusan tersebut MK menyatakan yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan terkait Undang-Undang (UU) terhadap pasal 222 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah partai politik yang pernah mengikuti Pemilu.
Baca juga: Jaya Suprana Ajukan Judicial Review Soal Presidential Threshold Ke Mahkamah Konstitusi
Hal tersebut disampaikannya dalam sidang yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Selasa (8/3/2022).
"Di situlah kemudian ditegaskan oleh MK bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian terkait pasal 222 itu adalah partai politik. Itu di luar, disenting itu adalah hal yang lain, tapi putusan MK nya menyatakan itu adalah partai politik. Sementara Pak Jaya ini kan perorangan kualifikasinya," kata Enny.
Enny juga mengatakan, untuk memperbaiki permohonannya maka Jaya di antaranya juga harus mampu membangun argumentasi terkait kedudukan hukum tersebut.
Menurutnya, argumen terkati kedudukan hukum tersebut belum terlihat di permohonan yang diajukan Jaya.
"Bagaimana Pak Jaya bisa menjelaskan, membangun sebuah argumentasi yang sangat kuat untuk bisa meyakinkan MK dengan dasar-dasar argumentasi yang berbeda dengan sebelumnya bahwa seharusnya perorangan pun bisa diberikan legal standing. Itu harus Bapak bangun," kata Enny.
Ia juga menyarankan agar Jaya memberikan pembeda terhadap putusan-putusan MK terkait persoalan serupa sebelumnya.
Karena menurutnya, kata dia, permohonan tersebut relatif sama dengan permohonan lain yang sudah diputus MK.
"Kalau seperti ini ya sudah berkali-kali pernah diputus oleh MK. Jadi mungkin nanti sekali lagi Pak Jaya juga perlu melihat putusan-putusan MK terbaru tersebut termasuk petitumnya hampir sama semua," kata Enny.
Enny mengingatkan agar Jaya perlu menegaskan pembeda permohonannya dengan permohonan terhadap pasal yang sama sebelumnya.
Karena jika tidak, kata Enny, maka putusan akan menyatakan permohonan tersebut nebis in idem.
"Ini yang harus dibangun kembali di mana letak pembedanya di situ, supaya tidak menjadi satu permohonan yang dinyatakan sebagai nebis in idem. Kalau nebis in idem kan dia permohonann tidak dapat diterima, apalagi tidak punya legal standing," kata dia.