News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Supersemar, Sejarah Pindahnya Kekuasaan Soekarno ke Soeharto beserta Kontroversinya

Penulis: Muhammad Renald Shiftanto
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Kedua RI Soeharto.

TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini sejarah Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret.

Supersemar merupakan surat yang diteken Presiden Soekarno untuk Soeharto pada 11 Maret 1966.

Dalam surat tersebut, terdapat perintah untuk peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.

Lewat surat yang ditandatangani 11 Maret 56 tahun yang lalu ini, Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto mengambil alih kekuasaan Presiden.

Namun, pada saat itu, beredar kabar jika Soekarno memberi mandat presidennya ke Soeharto demi memulihkan stabilitas politik nasional yang goyah karena G30 September 1965.

Meski begitu, banyak yang meragukan mandat tersebut.

Dikutip dari Kompas.com, keberadaan surat tersebut masih menjadi misteri.

Lima puluh enam tahun berlalu, naskah aslinya masih belum diketahui keberadaannya.

Baca juga: Pendaftaran Festival Film Pendek Family Sunday Movie Dibuka Sampai 12 Maret

Baca juga: Kemenag Kaji Ulang Biaya Haji 2022, Pelaku Kasus UNS Dituntut 7 Tahun Penjara, Penulis Lupus Wafat

Presiden Soekarno dan Letjen Soeharto, di tahun 1966. MISTERI Surat Perintah Revisi Supersemar yang Dikeluarkan Soekarno, Namanya Surat Perintah 13 Maret. (Foto: Public Domain/historia.id)

Supersemar

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) merupakan surat penyerahan mandat kekuasaan dari Soekarto ke Soeharto pada 11 Maret 1966.

Hingga kini, beredar Supersemar dalam beberapa versi, yakni Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Sekretariat Negara (Setneg), dan dari Akademi Kebangsaan.

Dari beberapa versi tersebut, tak ada yang merupakan dokumen aslinya.

Kendati demikian, ada beberapa pokok pemikiran Supersemar yang diakui Orde Baru dan dijadikan sebagai acuan.

Adapun isi dari Supersemar yaitu:

- Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.

- Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.

- upaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.'

Setelah Soeharto mendapat mandat ini, ia mengambil sejumlah keputusan lewat SK Presiden No 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR.

Keputusan tersebut berisi:

- Pembubaran PKI beserta ormasnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang

- Penangkapan 15 menteri yang terlibat atau pun mendukung G30S

- Pemurnian MPRS dan lembaga negara lainnya dari unsur PKI dan menempatkan peranan lembaga itu sesuai UUD 1945.

Soekarno tak bisa berbuat banyak. Sementara Soeharto mendapat kekuasaan yang semakin besar.

Kontroversi Supersemar

Mengutip Kompas.com, Pengamat Sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menyebut jika supersemar sebagai satu diantara rangkaian peristiwa untuk melemahkan kekuasaan Soekarno.

Sehari setelah terima mandat tersebut, Soeharto langsung membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelahnya, menteri yang setia dengan Soekarno ditangkap.

Lama kelamaan, kejayaan Soekarno pun mulai hilang.

Jika dirunut, ada tiga kontroversi Supersemar:

Pertama, soal keberadaan naskah asli Supersemar.

Kedua, proses mendapatkan surat tersebut.

Yang terakhir, soal interpretasi yang dilakukan oleh Soeharto.

Dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016), Asvi mengatakan, keberadaan naskah otentik Supersemar hingga kini belum diketahui.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Asvi Warman Adam, sedang menunggu giliran untuk menjelaskan tentang sejarah bela negara yang telah dilakukan masyarakat Indonesia masa lalu, dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Senator untuk Rakyat (FSuR), di Restoran Dua Nyonya, Jl. Cikini Raya, Jakarta Pusat, Minggu (1/11/2015). TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN (TRIBUNNEWS/TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN)

Selain itu, kontroversi berikutnya yakni dikabarkan supersemar diberikan Soekarno dalam situasi tertekan.

Menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara.

Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.

Akan tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak.

"Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi.

Pada akhirnya, Soeharto menggunakan mandatnya ini untuk melemahkan kekuasaan Soekarno.

(Tribunnews.com, Renald/Shella)(Kompas.com/Nibras Nada Nailufar/Kristian Erdianto)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini