TRIBUNNEWS.COM - Tindakan kriminal bisa dilakukan siapa saja, termasuk remaja dibawah umur.
Baru-baru ini, Klitih menjadi satu di antara aksi kriminal yang mendapat sorotan.
Klitih adalah tindakan kriminal jalanan dengan melukai orang lain tanpa alasan.
Aksi ini sering ditemui di kawasan Yogyakarta dan mayoritas pelakunya adalah remaja.
Lantas apa hukuman yang bisa menjerat pelaku klitih?
Baca juga: Ditangkap Polisi, Admin Akun Instagram yang Sebar Video Hoaks Klitih di Klaten Minta Maaf
Ketua Young Lawyers Comitte DPC Peradi Surakarta, T Priyanggo Tri Saputro menjelaskan bahwa tindakan klitih tergolong dalam tindakan penganiayaan.
Setidaknya ada lima pasal yang bisa menjerat pelaku klitih.
Jeratan pasal tersebut disesuaikan dengan bagaimana pelaku melancarkan aksinya.
Utamanya, pelaku klitih bisa dijerat pasal penganiayaan yakni pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Baca juga: Kasus Pembacokan Seorang IRT di Ragunan Disebut Mirip Klitih, Kriminolog Beri Penjelasan
Kemudian, pasal 338 KUHP juga bisa menjerat pelaku jika awalnya berniat merenggut nyawa korban.
Ada pula pasal 354 KUHP tentang pelaku melakukan penganiayaan berat.
"Pertama, pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, terus kemudian pasal 338, menghilangkan nyawa seseorang atau bisa dikenal pasal pembunuhan."
"Kemudian pasal 340 KUHP tentang pembunuhan perencanaan, pasal 354 KUHP, kemudian pasal 170 KUHP tentang pengroyokan. Paling tidak pasal-pasal ini yang bisa dikenakan pada para pelaku tindak pidana klitih," ucap Angga dalam program Talkshow Kacamata Hukum Tribunnews.com, Senin (11/4/2022).
Baca juga: Mengenal Klitih, Aksi Kekerasan yang Berulang Kali Terjadi di Jalan-jalan Yogyakarta
Ketika pelaku klitih masih di bawah umur, yakni berusia 12-18 tahun, maka bisa diproses hukum dengan Sistem Peradilan Pidana Anak.
Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Angga menjelaskan, ada dua jenis sanksi yang akan dikenakan pada pelaku pidana anak menurut UU SPPA, yakni sanksi tindakan dan sanksi pidana.
Sanksi tindakan pada anak lebih ke arah non pidana, seperti pengembalian pada orang tua, diserahkan ke LPKS hingga mengikuti pendidikan formal.
"Ini lebih (Sanksi) preventif belum berkaitan dengan badan," ucap Angga.
Baca juga: Soal Klitih di Jogja, Psikolog Forensik Singgung Peran Keluarga dan Sekolah Perlu Hadir
Sementara, sanksi pidana sesuai pasal 71 UU SPPPA bisa berupa peringatan, pidana dengan syarat yang terdiri atas pembinaan dua lembaga pelayanan masyarakat atau pengawasan.
Kemudian, dengan pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, serta pidana penjara.
Angga menambahkan, hukuman penjara pada pelaku pidana anak juga harus memenuhi beberapa syarat.
"Penahanan terhadap anak hanya didapat dilakukan dengan syarat anak telah umur 14 tahun atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman 7 tahun lebih."
"Ketika anak (pelaku) itu berusia 14 tahun maka bisa ditahan dipenjara," jelas Angga.
Baca juga: Penganiyaan Maut di Gedongkuning Yogyakarta Bukan Klitih, Polisi Ungkap Pemicunya
Selain upaya peradilan UU SPPA juga mengakui adanya diversi.
Diversi yakni penyelesaian perkara non pengadilan dengan pendekatan restorative justice bertujuan mendamaikan antara pelaku dengan korban.
Namun, Angga mengingatkan tidak semua kasus kriminalitas anak akan berakhir diversi.
Angga berpendapat, pelaku tindakan pidana berat, seperti klitih tetap harus ada penindakan atau penahanan.
"Tidak semua perkara melibatkan kemudian akan berakhir diversi."
"Ada ancaman-ancaman yang benar-benar menyatakan di anak bawah umur ini bisa dipenjara dengan kategori tertentu," ucapnya.
(Tribunnews.com/Shella Latifa)