Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade menilai bahwa tingginya angka impor baja pada 2021 lalu dikarenakan adanya beleid Permenperin 32 dan 35 tahun 2019 yang meniadakan peraturan teknis dalam rekomendasi impor.
Andre mencatat berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan impor baja sebesar 23 persen yang semula 3,9 juta ton pada 2020 menjadi 4,8 juta ton di tahun 2021.
"Selain itu, dalam Permenperin 35 salah satu poin krusial adalah soal hilangnya Standar Nasional Indonesia (SNI) produk impor. Padahal kita tahu bahwa implementasi SNI wajib dilakukan dari hulu ke hilir," kata Andre kepada wartawan, Rabu (13/2/2022).
Andre menjelaskan, industri baja nasional sebagai mother of industry perlu diperkuat dengan menekan laju impor yang selama berapa tahun belakangan dilakukan secara brutal.
Untuk itu, Andre mendesak Komisi VI bisa mengagendakan rapat kerja dengan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian untuk menyelesaikan masalah semrawutnya impor baja ini.
Baca juga: Jepang Tangguhkan Impor Baru Bara dari Rusia, Sejumlah Perusahaan Lirik Indonesia
“Terutama terkait dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 32 dan 35 tahun 2019 dan soal bea masuk anti dumping," ujarnya.
Lebih lanjut, terkait Krakatau Steel, Andre menyoroti soal proyek blast furnace yang diinisiasi sejak 2008 tapi saat ini mangkrak.
“Sangat sayang sekali proyek yang sudah menelan biaya investasi sebesar Rp 12 Triliun harus mangkrak bertahun-tahun. Saya pikir Krakatau Steel harus segera mencari solusi agar proyek ini bisa berjalan kembali," kata dia.
Andre menambahkan, proyek blast furnace ini bisa dilanjutkan dengan catatan dilakukan audit investigasi terlebih dahulu.
Baca juga: Sanksi Makin Bertambah, Jepang Umumkan Larangan Impor Batu Bara dari Rusia
Sehingga, persoalan yang ada menjadi terang benderang.
“Saya mendapat informasi, proyek blast furnace bisa efisien bila KS melakukan investasi tambahan terkait Basic Oxygen Furnace (BOF) yang membutuhkan investasi kurang lebih 150 juta dollar atau sekitar Rp2 triliun," katanya
Andre melanjutkan, setelah audit investigasi dilakukan, kita bisa membahas solusi untuk mengatasi persoalan terkait mangkraknya proyek ini, entah nantinya Krakatau Steel diberikan PMN untuk investasi Basic Oxygen Furnace (BOF) atau Krakatau Steel melakukan strategic partnership.
“Saya lebih cenderung Krakatau Steel mencari investor strategis untuk menjalankan proyek BOF daripada menggunakan PMN. Dengan kemampuan Direktur Utama Krakatau Steel yang tidak perlu diragukan, saya yakin KS mampu mencari mitra strategis untuk berinvestasi di proyek BOF ini," ujarnya.