Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana, Prof Dr. Agus Surono, menilai pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR sudah lama dinanti oleh kalangan, terutama aktivis perempuan.
UU yang disahkan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani itu menurut Agus bakal menjadi acuan bagi para penegak hukum untuk memberikan hukuman kepada pelaku yang melakukan tindakan kekerasan seksual.
"Peran Puan Maharani sangat krusial dalam mendorong percepatan pengesahan UU tersebut yang sudah dinantikan pengiat perempuan selama hampir satu dekade," kata Agus dalam pesan yang diterima, Minggu (17/4/2022)
Baca juga: UU TPKS Jadi Bukti Perjuangan DPR untuk Terus Menghidupkan Semangat Kartini
Meski UU TPKS ini dijadikan sebagai acuan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pancasila itu mengatakan ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian dalam UU ini.
Dia menyebut UU TPKS ini harus disinkronkan dengan UU yang lainnya, seperti KUHP, UU Pornografi, UU KDRT, dan UU Perlindungan Anak.
“Dalam praktiknya nanti, penegak hukum juga perlu memperhatikan undang-undang lain yang sudah ada sebelumya,” kata Agus.
Terkait dengan efektivitas sanksi yang ada dalam UU TPKS ini, dia menjelaskan bahwa dalam konsep hukum pidana, terutama pemidanaan, sudah ada ketentuan pidana dalam Pasal 10 KUHP, yang terbagi dalam pidana pokok dan pidana tambahan.
Namun menurut Agus, yang baru dalam UU TPKS ini adalah memberikan penegasan kembali, terutama terkait dengan pidana tambahan, yaitu dalam bentuk tambahan sanksi yang lebih keras dibandingkan dengan sanksi pidana pada umumnya.
Baca juga: UU TPKS Disahkan, KSP Dorong Percepatan Pengesahan RUU PPRT
Soal kekhawatiran publik terkait ada tumpang tindih antara UU TPKS dengan UU Pornografi, UU KDRT, dan UU Perlindungan Anak, Agus menjelaska bahwa hal yang perlu dipahami publik adalah norma perbuatan yang dilanggar oleh pelaku dalam beberapa undang tersebut berbeda satu sama lain, sehingga tidak mungkin akan terjadi tumpang tindih.
"Dalam praktiknya nanti, ketika ketika ada satu peristiwa pidana yang berkaitan dengan kekerasan seksual, aparat penegak hukum bisa saja mengacu kepada ketentuan peraturan perundangan yang ada dalam beberapa UU itu, termasuk KUHP," katanya.
Agus menyebut Penegak hukum biasanya menggunakan terminologi dan/atau.
“Dalam konsep hukum pidana itu, ada yang namanya gabungan tindak pidana, artinya seorang pelaku, bisa saja dalam peristiwa pidana yang dilakukan oleh pelaku, bisa saja ia melanggar beberapa ketentuan tindak pidana, baik yang ada dalam KUHP, maupun yang berada di luar KUHP, termasuk juga secara spesifik dalam UU TPKS yang baru disahkan itu,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani menyinggung soal Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) saat menutup masa sidang DPR.
Penutupan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 DPR digelar dalam Rapat Paripurna di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/4/2022).
Dia menegaskan agar UU TPKS yang baru saja disahkan harus menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual.
"Saya atas nama Pimpinan memberikan apresiasi kepada seluruh Anggota DPR RI yang telah berkomitmen untuk bekerja optimal dalam menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya yang dilakukan di masa sidang ini," kata Puan.
Secara khusus, Puan menyinggung soal fungsi legislasi yang telah dilakukan dewan pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 ini.
Puan mengungkapkan DPR telah berhasil mengesahkan UU TPKS yang sudah digagas sejak satu dekade lalu.
"Semangat pembentukan Undang Undang TPKS, selain memenuhi kebutuhan hukum nasional juga untuk memberikan pelindungan bagi korban serta pemenuhan hak-hak korban secara tepat, cepat dan komprehensif," ucapnya,
"Kehadiran Undang Undang ini agar menjadi pedoman bagi aparat dalam menghadapi dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual," imbuhnya.