TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini biografi singkat RA Kartini.
RA Kartini merupakan putri dari seorang patih bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.
Ayahnya, dari patih kemudian diangkat menjadi Bupati Jepara.
Kartini yang lahir 21 April 1979 ini dikenal sebagai wanita yang jadi pelopor kesetaraan derajat wanita dan pira di Indonesia.
Baca juga: 15 Link Twibbon Hari Kartini 2022, Berikut Cara Buat dan Bagikan ke Media Sosial
Baca juga: Contoh Puisi Hari Kartini: Kartiniku Kini, Tanduk Perempuan, Literasi Ubah Negeri, Pesan Pujangga
Jika ditulusuri, silsilah keluarga sang ayah bisa sampai ke Hamengkubuowo IV.
Garis keturunan Sosroningrat juga bisa ditelusuri hingga masa Kerajaan Majapahit.
Ayah RA Kartini awalnya hanya seorang wedana (pembantu bupati) di Mayong, Jepara.
Saat itu, kolonial Belanda mewajibkan siapapun yang jadi bupati, harus memiliki darah bangsawan sebagai istrinya.
Namun, ibu Kartini, M.A Ngasirah bukan bangsawan.
M.A. Ngasirah merupakan istri pertama dari Sosroningrat yang bekerja sebagai guru agama di salah satu sekolah di Telukawur, Jepara.
Karina Ngasirah bukan seorang bangsawan, ayah Kartini kemudian menikah lagi dengan Raden Adjeng Moerjam.
Radeng Adjeng Moerjam merupakan wanita yang memiliki keturunan langsung dari Raja Madura.
Pernikahan tersebut juga langsung mengangkat kedudukan ayah Kartini menjadi bupati, menggantikan ayah dari R.A. Moerjam, yaitu Tjitrowikromo.
Perjuangan RA Kartini
Mengutip dari grid.id, diketahui bahwa di masa penjajahan Belanda, tidak semua anak bisa mendapatkan pendidikan yang layak.
Budaya patriarki masih melekat di tanah Jawa, maka dari itu para kaum wanita memiliki kewajiban untuk mengurus rumah dan tidak diperbolehkan memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari kaum pria.
Karena hal itulah, setelah usia 12 tahun, RA Kartini harus berhenti bersekolah karena harus mengikuti budaya yang berjalan.
Karena tetap semangat mencari ilmu, Kartini tetap berjuang untuk mendapatkan pengetahuan dari rumahnya.
Maka selama ia di rumah dan tidak bersekolah, ia tetap rajin mencari ilmu, dengan bertukar pikiran dengan teman-temannya melalui surat.
RA Kartini juga gemar membaca buku-buku kebudayaan Eropa seperti buku karya Louis Coperus yang berjudul Des Stille Kraacht.
Kegemarannya dalam membaca buku, membuat wawasan Kartini menjadi lebih terbuka.
Kemudian muncul pemikiran ingin memperjuangkan haknya sebagai perempuan.
Kartini mulai memberi perhatian lebih pada adanya gerakan emansipasi wanita.
Menikah dengan KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat
RA Kartini pada tahun 1903 pun menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Lalu, ia memutuskan untuk mendirikan sekolah wanita.
Tujuan Kartini mendirikan sekolah tersebut adalah untuk memberikan kebebasan pendidikan bagi wanita pribumi.
Namun, pada 17 September 1904, RA Kartini menghembuskan napas terakhirnya setelah melahirkan anak pertamanya, Soesalit Djojoadhiningrat.
Surat Peninggalan RA Kartini
Banyaknya surat-surat Kartini saat ia muda menginspirasi banyak wanita Indonesia karena berisikan tentang perjuangannya mengenai status sosial hak para wanita pribumi.
Bukti perjuangan RA Kartini tersebut kemudian disusun sebagai buku.
Buku tersebut dikenal dengan judul Door Duisternis tot Licht atau dalam bahasa Indonesia "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Sejarah perjuangan RA Kartini hingga saat ini masih dikenang, terkhusus pada saat Hari Kartini 21 April.
(Tribunnews.com, Renald/Oktavia WW/Farrah Putri)(Grid.id/Tata Lugas Nasiti)(Bobo.grid.id/Sarah Nafisah)