Meski demikian, adanya opini WTP dari BPK tidak menjamin kepala derah setempat bersih dari korupsi.
"Tidak dijamin WTP itu bersih karena banyak kepala daerah dapat WTP dari hasil lobi dan suap, seperti yang terjadi pada Bupati Bogor."
"Masyarakat tahunya apa yang di atas kertas, bukan pada hal di belakang layar."
"Di atas kertas WTP, bagi rakyat bahwa bupatinya tak korupsi. Padahal, di belakang layarnya belum tentu," kata Ujang, Kamis (28/4/2022), dilansir Kompas.com.
Baca juga: Buntut Kasus Suap Bupati Bogor Ade Yasin, 4 Pegawai BPK Perwakilan Jabar Dinonaktifkan
Baca juga: Konstruksi Perkara Kasus Suap Ade Yasin dan Peran Keterlibatan 7 Tersangka Lainnya
Selain itu, status opini WTP dalam laporan juga dinilai mampu mendongkrak citra kepala daerah hingga menteri, yang bisa digunakan untuk kepentingan politik.
Celah itu yang digunakan oleh para pejabat pemerintahan daerah hingga kementerian dan auditor BPK.
Para penyelenggara negara kemudian bersiasat untuk mengutak-atik laporan keuangan supaya mendapatkan opini WTP dengan imbalan suap kepada auditor.
”Mendapatkan status tersebut dari BPK memang berdampak besar pada lembaga negara atau pemerintah daerah terkait."
"Kepercayaan publik meningkat, reformasi birokrasi dianggap berhasil sehingga modus suap pun dihalalkan,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch, Febri Hendri, di Jakarta, Sabtu (27/5/2017) dilansir Tribunnews.com.
Identitas dan Peran 8 Tersangka
Dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan delapan tersangka.
Berikut identitas dan peran tersangka sebagaimana dilansir Tribunnews.com:
Sebagai pemberi suap:
1. Ade Yasin (AY), Bupati Bogor periode 2018-2023;