Nabi bersabda:
شَفَاعَتِيْ لِاَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ اُمَّتِىْ
Artinya: Syafaatku untuk para pendosa besar dari umatku. (HR Abu Dawud dan At- Tirmidzi)
Ada keutamaan lain, umat Muhammad tidak diciptakan oleh Allah dengan umur yang panjang, 500 tahun, 700 tahun dan lain sebagai. Umur umat Muhammad rata-rata antara 60 sampai 70 tahun. Hal ini sebutkan dalam hadits Nabi:
أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ.
Artinya: Umur-umur umatku antara 60 hingga 70 tahun. Sedikit di antara mereka yang melewati usia tersebut. (HR At-Tirmidzi)
Umur yang pendek ini di antara hikmahnya adalah supaya umat Muhammad tidak capek-capek beribadah yang panjang. Umat Muhammad diberi oleh Allah umur yang pendek, namun dalam pendeknya umur, Allah memberikan peluang lailatul qadar sehingga apabila bisa digunakan dengan baik, hal tersebut lebih baik daripada seribu bulan atau 83 tahun lebih. Maka, seumpama ada umat Muhammad mulai baligh sekitar umur 13 tahun, setiap tahun bisa menggunakan laitalul qadar dengan sebaik mungkin, sedangkan umurnya sampai 63 tahun, berarti telah menjalankan ibadah lebih baik dari 4.500 tahun yang tidak ada lailatul qadarnya. Betapa Allah sungguh memuliakan umat Muhammad dibandingkan umat yang lain.
Lailatul qadar tidak bisa dipastikan jatuhnya kapan. Bisa pada awal Ramadhan, tengah ataupun di bagian akhir Ramadhan. Hal ini tidak dijelaskan secara pasti supaya kita mau menjaring terus menerus. Dengan begitu, selama Ramadhan kita berusaha memenuhinya dengan aneka ibadah. Hanya saja, secara umum memang lailatul qadar banyak yang jatuh pada kisaran 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
Rasulullah begitu tampak sikapnya bagaimana memenuhi sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Di antaranya Rasulullah telah memberikan contoh kepada kita melalui hadits yang diriwayatkan oleh istrinya Aisyah radliyallahu anha sebagai berikut:
كانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Artinya: Nabi SAW ketika memasuki sepuluh hari terakhir mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya. (HR Bukhari Muslim)
Pengertian 'mengencangkan sarungnya', sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam tafsirnya Fathul Bari adalah Rasulullah SAW memisahkan diri dari istrinya, tidak menggauli istri beliau selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah lebih fokus ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Taala.
Hadits tersebut terkandung maksud bahwa cara Rasulullah menghidupkan lailatul qadar adalah dengan tidak menjadikan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan tersebut sebagai momen bermalas-malasan dan sarat tidur. Orang tidur sama dengan mati, maka lawan katanya adalah menghidupkan. Rasulullah menghidupkan malam dengan terjaga, beribadah, tidak mengisinya dengan tidur.
Selain itu, Nabi Muhammad juga memperhatikan masalah ibadah keluarganya. Yakni tidak ibadah sendirian, sedangkan keluarga yang lain santai-santai, tidak. Rasulullah membangunkan keluarganya untuk beribadah malam, bersujud kepada Allah Subhanahu Wa Taala.