Krusial pointnya sebenarnya ya yang pertama, yang paling berat adalah bagaimana seorang penjabat kepala daerah itu memahami konstelasi politik lokal. Kemudian berangkat dari konstelasi politik tersebut kita bisa menyelesaikan konflik-konflik yang tadi. Itu sebenarnya kapasitasnya.
Nah itulah yang tidak ada di dalam pelajaran di bangku kuliah tapi dikembangkan kreatifitas, inovasi di lapangan dan kemampuan menjaring komunikasi dengan berbagai stekholder yang tepat seperti itu.
Jadi misalnya di DKI Jakarta nggak pernah saya bayangkan saya menghadapi demonstrasi sampai 12 juta (orang). Gerakan 212. Tidak ada pelajarannya itu, dan bagaimana kita harus keluar dari situasi politik sehingga Pilkada bisa berjalan dengan baik dalam situasi berbagai tekanan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Itu contoh-contoh kongrit dan itu yang ditekukan saat sebelum menjabat tetapi situasi itu terjadi. Dan sebagai penjabat gubernur kita harus tanggung jawab penuh. Karena tidak ada gubernur. Nah pada saat itulah ya kita harus bisa mengendalikan dengan sebaik-baiknya.
Nah pengalaman dari tiga gubernur itu yang kuncinya adalah bagaimana kita membabgun khususnya interaksi stekholder-stekholder itu dengan berbasis budaya setempat.
Jangan lupa saya sebagai gubernur beragam Islam ditempatkan gubernur Sulawesi Utara. Bisa bayangkan kalau saya tidak memiliki basis pendekatan saya kultur Sulawesi Utara. Itu salah satu kongrit. Lalu kreasi di lapangan.
Alhamdulilah kita canangkan namanya 'Marijo Kamanado', nanti 'Mari Ayo ke Manado' itu sebagai ikonik yang bisa menyatukan semangat Sulawesi Utara untuk membangun kembali kalau Sulawesu Utara itu adalah provinsi Nyiur Melambai.
Bayangkan saja sebagai daerah pariwisata dengan kalimat itu bisa menyatukan semangat, semua diarahkan ke Pilkada. Panas, maka perlu dibuat proyek-protek pendinginan seperi itu, jadi semangatnya seperti itu.
Ditambah lagi dengan Sulawesi Utara menanam, bagaimana nyiur melambainya, melambai kalau tidak ada tanamanya makin kering, itu jadi jurus kongrit.
Sulawesi Utara berkarya, untuk merespons pengangguran disana. Jadi hal-hal itu yang saya lakukan selama 6 bulan dan Alhamdulillah menjadi baik.
Hal-hal ini sama dengan di DKI Jakarta, terinspirasi kondisi di Sulawesi Utara, 'torang samua bersaudara', saya adopsi di Jakarta karena menghadapi situasi panas, SARA sekali, sangat terasa sekali, dan hidroginitas di Jakarta dengan jawab dengan sebuah ikon kita semua bersaudara.
Jadi itulah kemudian sampai ke RT/RW, pasang spanduk dan semangatnya. Jadi kita harus memiliki sebagai Plt itu proyek-proyek pendinginan. Harus menjadi AC disituasi yang panas. Kira-kira begitu.
Demikain juga di Sulawesi Selatan, betapa pasang antisipasi ketika kotak kosong menang. Di Makkasar itu juga kita lakukan, dimana membangun semangat 3 suku bangsa Sulawesi Selatan, yaitu Bugis, Makkasar dan Toraja ditambah Mandar, satu semangat apa itu perekatanya, kembali itu berbasis budaya.
Yaitu kita ciptakan mars Sulawesi Selatan. Sampai sekarang terus berkembang dan kedua berbasis budaya. Ada 4 S. Sipakatau, sipakainge dan sipakalebbi, Sipataina. Itu harus menghargai kepada orang, kita harus menempatkan pada orang lain sebagai sama, kita saling tolong, saling ingat.
Itu semua adalah budaya masyakat bugis yang kita angkat kembali ketika PJ, nanti bisa meredam suasana panas menjadi dingin. (tribun network/yuda)