Jika di Indonesia pencegahan dilakukan dengan prinsip 'preventive strike' yakni pencegahan ancaman aksi teror sebagaimana dilakukan oleh Densus 88. Sementara, di Singapura lebih hulu yakni 'pre-emptive strike', yakni pencegahan terhadap potensi ancaman aksi yang disebabkan oleh pandangan, doktrin, dan ideologi.
Hal ini dilakukan karena Singapura memiliki landasan regulasi Bernama ISA (Internal Security Act) yang mencakup pelarangan ideologi, pandangan dan pemahaman radikalisme yang mengarah pada aksi terorisme.
"Singapura berani mengambil langkah itu karena jelas ceramah, sikap dan pandangan yang ekslusif, intoleran merupakan watak dasar dari muncul pemahaman radikal terorisme akibat doktrin al-wala wa bara maupun takfiri," ucap Ahmad Nur.
"Inilah yang dilihat oleh Pemerintah Singapura sebagai pandangan yang mengajarkan segreasi yang tidak relevan dan membahayakan negaranya yang multi ras-etnik," tambahnya.
Lebih lanjut, ia menyebut, hal ini justru menjadi pelajaran penting bagi Indonesia untuk juga melakukan pencegahan.
"Dengan melarang pandangan, pemahaman dan ideologi radikal yang bisa mengarah pada tindakan teror dan kekerasan," jelasnya.
Kronologi UAS Ditolak Masuk Singapura
Sebelumnya, Ditjen Imigrasi juga mengungkap kronologi UAS ditolak masuk Singapura.
Subkoordinator Humas Ditjen Imigrasi, Achmad Noer Saleh, mengatakan UAS hendak masuk ke Singapura bersama enam keluarganya yakni SN, Hn, FA, AMA, SQA, SAM.
Baca juga: Banyak Koruptor Lari ke Singapura Tapi tak Dicegat, Mengapa Ustad Abdul Somad Dideportasi?
Mereka berangkat dari Pelabuhan International Batam Center menggunakan kapal MV Brilliance of Majestic pada pukul 12.50.
Setiba di Singapura, ICA (Otoritas Imigrasi dan Pemeriksaan Singapura) menolak masuk (denied entry) tujuh orang tersebut dengan alasan tidak memenuhi syarat untuk berkunjung ke Singapura.
Tujuh orang tersebut langsung kembali ke Indonesia pada kesempatan pertama dan tiba kembali di TPI Batam Center pada pukul 18.10.
(Tribunnews.com/Daryono/Fransiskus Adhiyuda)