Dalam konstruksi perkara yang diuraikan KPK disebutkan, pada sekira Mei 2015, Irfan selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang bersama Lorenzo Pariani sebagai salah satu pegawai perusahaan AgustaWestland menemui Mohammad Syafei, yang saat itu masih menjabat selaku Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI AU di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur.
Dalam pertemuan tersebut kemudian membahas di antaranya akan dilaksanakannya pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU.
Baca juga: KPK Akhirnya Tahan Irfan Kurnia Saleh, Tersangka Korupsi Helikopter AW-101 Sejak 2017
Irfan yang juga menjadi salah satu agen AgustaWestland diduga selanjutnya memberikan proposal harga pada Syafei dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS, dimana harga pembelian yang disepakati Irfan dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar AS (ekuivalen dengan Rp514,5 miliar).
Kemudian, sekira November 2015, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU, mengundang Irfan untuk hadir dalam tahap prakualifikasi dengan menunjuk langsung PT Diratama Jaya Mandiri sebagai pemenang proyek dan hal ini tertunda karena adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung.
Di tahun 2016, pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjut dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti oleh dua perusahaan.
Dalam tahapan lelang ini, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mempercayakan Irfan dalam menghitung nilai harga perkiraan sendiri (HPS) kontrak pekerjaan.
Harga penawaran yang diajukan Irfan masih sama dengan harga penawaran di tahun 2015 senilai 56,4 juta dolar AS dan disetujui oleh pejabat pembuat komitmen (PPK).
Irfan juga diduga sangat aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan Fachri Adamy selaku PPK.
Untuk persyaratan lelang yang hanya mengikutkan dua perusahaan, Irfan diduga menyiapkan dan mengondisikan dua perusahaan miliknya mengikuti proses lelang ini dan disetujui oleh PPK.
Untuk proses pembayaran yang diterima Irfan diduga telah 100 persen, dimana faktanya ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda.
KPK menduga perbuatan Irfan bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.
Atas perbuatannya, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.