Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kinerja pemerintahan bidang perekonomian banyak sorotan publik terkait kinerja.
Hal ini perlu gebrakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menyikapi kinerja buruk tersebut dengan langkah strategis.
Hal tersebut disampaikan oleh Haris Pertama, Ketua Umum terpilih DPP KNPI periode 2022-2025.
Menurut Haris, setidaknya ada beberapa catatan evaluasi pemerintahan bidang perekonomian terkait bahaya ketimpangan rasio hingga masalah kinerja Menteri.
“Pertama, terdapat ketimpangan yang terus meningkat selama kurun waktu 2019 hingga saat ini yang sudah sangat membahayakan karena jumlah orang kaya yang terus meningkat. Sementara orang yang menjadi pengangguran baru meningkat,” ucap Haris dalam keterangannya, Jumat (27/5/2022).
Baca juga: Terpilih Lagi Jadi Ketua Umum KNPI, Haris Pertama Serahkan LPJ dalam Bentuk Buku
Lebih lanjut, Haris menjelaskan ketimpangan tersebut tidak hanya karena pandemi Covid-19, melainkan karena juga kebijakan-kebijakan yang kurang tepat.
Dimana, salah satu kebijakan yang disorot adalah soal perlindungan sosial.
"Tercatat, jumlah orang kaya baru naik 65 ribu, tingkat gini rasio khususnya di perkotaan mencapai 0,4," jelas Haris.
Menurutnya, ketimpangan ini adalah suatu hal yang harus diwaspadai, sebab ketimpangan yang terlalu melebar akan sangat mengganggu stabilitas ekonomi dan politik dalam waktu yang cukup panjang.
"Kedua, mengenai pertumbuhan ekonomi semasa pandemi tidak solid. Sebab pada Kuartal II 2021 pemerintah terlalu terburu-buru melakukan pelonggaran ekonomi, sehingga pada kuartal II ekonominya tumbuh 7,07 persen, kemudian setelah itu muncul gelombang ke 2 penularan Covid-19 yang mengakibatkan penularan Covid-19 kembali meningkat," papar Haris.
Ia pun membeberkan kelemahan mendasar dari kinerja pemerintahan bidang perekonomian, mengenai koordinasi kebijakan ekonomi.
Ketiga, ia turut menyoroti soal lemahnya mengelola dana penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
"Ini semua uang rakyat loh harus dipertanggungjawabkan," beber Haris.
Baca juga: Haris Pertama Terpilih Ketum, Ketua MPR Harap KNPI Totalitas Pompa Semangat Anak Muda
Lebih lanjut, Haris menjelaskan, persoalan temuan BPK ini berakar dari adanya 887 kelemahan pada sistem pengendalian internal, 715 ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, dan 1.241 permalahan yang mencakup efisiensi dan efektivitas.
"Dalam pemeriksaan PC-PEN tersebut, BPK mengidentifikasi sejumlah masalah terkait serta realisasinya, kemudian pertanggungjawaban, pelaporan PC-PEN, dan manajemen program kegiatan pandemi," kata Haris.
Keempat, masalah kebijakan kartu Pra Kerja yang tidak tepat sasaran dan rawan penyimpangan.
"Harusnya cukup dengan data NIK KTP, kan NIK sudah terintegrasi dengan data kependudukan lainnya," ujar Haris.
Sorotan aspek lainnya adalah pelaksanaan metode program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara.
Pasalnya, metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang baik.
"Ada dua faktor yang menjadi alasan program pelatihan berpotensi fiktif. Pertama, lembaga Pelatihan sudah menerbitkan sertifikat meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih. Kedua, peserta sudah mendapatkan insentif meskipun belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli, sehingga negara tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta," ujar Haris.
Baca juga: Sandiaga Uno Bagikan Tips dan Trik ke Pelaku Ekonomi Kreatif Agar Mudah Tarik Investor
Kelima, adalah persoalan kelangkaan minyak goreng dan kebijakan larangan ekspor CPO yang berimbas pada keresahan masyarakat, petani sawit maupun sektor swasta.
Tentu, akibat lemahnya kebijakan yang dikeluarkan.
"Larangan ekspor CPO malah menimbulkan masalah baru yaitu tidak terserapnya produksi tandan buah segar (TBS) petani sawit," tandas Haris.(*)