TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus menyatakan pihaknya mempertanyakan logika dan regulasi terkait pernyataan Menteri Koordinator Marinvest Luhut Binsar Panjaitan (LBP).
Dimana, Luhut menyebut bahwa kantor pusat perusahaan sawit harus berada di Indonesia.
Bagi Deddy, pernyataan LBP itu terkesan hanya berusaha menaikkan popularitas di tengah kritikan publik dan hanya terkesan gertak sambal semata.
“Saya sih senang dengan pernyataan Pak Luhut itu, tetapi apa memang ada regulasinya? Apakah memang ada UU atau aturan pemerintah yang menyatakan dan mengharuskan semua investor yang berinvestasi harus berkantor pusat di Indonesia?" Atau kah itu hanya berlaku untuk perusahaan perkebunan sawit saja, tidak untuk perusahaan smelter, pembangkit listrik, tambang, migas, konsultan, lawyer, rumah sakit, telekomunikasi dan sebagainya?” kata Deddy Yevri dalam keterangannya, Senin (30/5/2022).
“Saya mengakui pernyataan dan niat Pak Luhut itu sangat populis, progressif dan heroik. Tetapi tanpa landasan hukum, kesannya jadi sekedar gertak sambal belaka,” tambahnya.
Deddy Yevri melanjutkan, dirinya pribadi akan mendukung bila kebijakan itu serius mau dilakukan. Tetapi perlu dipikirkan apakah hal itu tidak akan berdampak kepada iklim investasi di Indonesia.
“Apakah dulu Exxon dan Freeport kantor pusatnya ada di Indonesia atau apakah sekarang PWC, McKenzie, Huadian, Newmont, Chingsan, Huawei, Virtue Dragon, Obsidian, Silk Road dan sebagainya itu juga harus berkantor pusat di Indonesia?" tanya Deddy.
"Menurut saya LBP harusnya tidak menerapkan standar ganda, sehingga tersirat ada agenda tersembunyi dan merusak iklim berinvestasi di Indonesia,” katanya.
Menurut Anggota Fraksi PDI Perjuangan dari Dapil Kalimantan Utara tersebut, ada banyak persoalan hulu dalam industri sawit yang seharusnya diurusi oleh LBP sebagai orang yang ditugasi membereskan sengkarut minyak goreng.
Baca juga: Pedagang Menaruh Harapan ke Luhut untuk Tuntaskan Persoalan Minyak Goreng
Ambil contoh yang paling hulu adalah soal Domestic Price Obligation (DPO) meliputi penetapan harga Tandan Buah Sawit (TBS) hingga CPO, serta produk minyak goreng yang masih mengacu pada harga internasional.
Belum lagi soal mekanisme pemungutan dan kontrol CPO hasil DMO, kemampuan pemerintah menyiapkan fasilitas cadangan nasional hingga distribusi, ujar Deddy.
Masalah hulu lain yang jauh lebih penting adalah soal jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU) dan pengembalian aset itu kepada negara.
Lalu, soal plasma dan luasan HGU yang merugikan bahkan mengorbankan petani kecil pemilik lahan dan masyarakat adat, hingga sering menimbulkan konflik dimana-mana.
Lalu permasalahan terkait banyaknya perkebunan sawit yang belum memberikan upah buruh sesuai ketentuan.