News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

CBA Minta Temuan BPK di Kemenkes Segera Ditindaklanjuti

Penulis: Erik S
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi.Petugas medis mengambil sampel lendir hidung dan tenggorokan warga untuk pemeriksaan tes cepat (rapid test) Antigen COVID-19 di Pos Pengamanan Natal dan Tahun Baru 2021 Polsek Kebayoran Lama di Jakarta, Selasa (29/12/2020). Polres Metro Jakarta Selatan mengadakan Rapid Test Antigen gratis di beberapa pos pengamanan Natal dan Tahun Baru 2021 yang bertujuan untuk membantu pemerintah dalam pelacakan COVID-19. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kejanggalan dalam pengadaan alat rapid test antigen di Kementerian Kesehatan pada tahun anggaran 2021.

Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi meminta aparat penegak hukum segera menindaklanjutinya.

Selain itu BPK juga menemukan kelebihan pembayaran pengadaan alat kesehatan penanganan Covid-19 di Kementerian Kesehatan sebesar Rp167 Miliar di tahun yang sama untuk pengadaan alat pelindung diri, masker, handscoon non-steril dan reagen PCR senilai Rp3,19 Triliun.

"Kalau ada penyimpangan berarti harus masuk ke ranah hukum. BPK harus menyiapkan bukti ke penyidik hukum," kata Uchok, Senim (30/5/2022).

Uchok menilai kejanggalan ini tidak bisa dianggap hal biasa dan wajar. Hal ini dikarenakan kasus tersebut terjadi berulang kali sejak pandemi covid-19 pertama kali terjadi pada tahun 2020. 

"Bukan hanya Kemenkes, tapi juga vendor-vendor, dan BUMN yang terlibat dalam pengadaan ini. Makanya harus ada penyidikan lebih lanjut, panggil aja Menteri Kesehatan, karena ini atas perintah dia, biar tanggung jawab dia," tegas Uchok.

Komisi IX desak investigasi

Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher mendesak agar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kejanggalan pengadaan alat tes antigen Covid-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) periode 2020-2021 diinvestigasi.

Dikutip dari dpr.go.id, Netty menyebut negara mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat pengadaan tersebut.

"Temuan BPK ini harus diinvestigasi karena sudah melanggar sejumlah ketentuan yang berlaku."

"Disinyalir sebagian alat tes tersebut tidak memenuhi spesifikasi aspek kedaluwarsa," ungkap Netty, Senin (30/5/2022).

Baca juga: Temuan BPK Soal Kejanggalan Pengadaan Alat Tes Antigen Kemenkes, Komisi IX Desak Lakukan Investigasi

Netty mengungkapkan, pemerintah seharusnya cermat dalam melakukan kalkulasi pembelian agar tidak terjadi pemborosan anggaran.

Hal ini juga dinilai menabrak sejumlah aturan.

"Ini menabrak Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa di mana ada kewajiban bagi pihak yang terlibat pengadaan untuk mencegah pemborosan dan kebocoran uang negara," ujar politisi dari Fraksi PKS itu.

Lebih lanjut, merujuk laporan BPK, Netty menyebut pengadaan alat test Covid-19 oleh Kemenkes dilakukan secara kurang akurat. 

Misalnya, dengan melakukan pembelian tanpa menghitung ketersediaan stok di seluruh daerah.

"Akhirnya terjadi kelebihan stok alat tes antigen pada periode itu. Kebutuhan hanya 14 juta unit, namun stok mencapai 18,33 juta unit," kata Netty.

Tidak hanya itu, Netty mengungkapkan adanya pengadaan oleh satu perusahaan yang sama juga menimbulkan tanda tanya.

Oleh karena itu, Netty mendesak pemerintah betul-betul melakukan investigasi temuan BPK tersebut.

"Perlu diselidiki apakah kejanggalan ini disengaja atau karena faktor kelalaian."

"Harus ada konsekuensi hukum dan penegakkan peraturan atas perkara ini. Jangan biarkan berlalu begitu saja," tegas Netty.

Diketahui BPK menemukan sejumlah kejanggalan pada pengadaan alat rapid tes Covid-19 di Kemenkes.

Terdapat sembilan perusahaan mengempit proyek senilai Rp 1,46 triliun yang dinilai menyalahi kontrak.

Mulai dari kelebihan pembayaran, pemborosan, dan tidak sesui dengan syarat spesifikasi kedaluwarsa.

BPK Serahkan Dokumen ke DPR

Sementara itu Ketua BPK, Isma Yatun, menyerahkan secara langsung Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2021 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Puan Maharani, dilansir laman BPK.

Penyerahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR, di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Selasa (24/5/2022) lalu.

Ketua BPK dalam sambutannya mengungkapkan IHPS II Tahun 2021 ini memuat ringkasan dari 535 laporan hasil pemeriksaan (LHP), yang terdiri atas 3 LHP Keuangan, 317 LHP Kinerja, dan 215 LHP Dengan Tujuan Tertentu.

BPK mengungkap 4.555 temuan yang memuat 6.011 permasalahan sebesar Rp31,34 triliun.

Sebanyak 53 % atau 3.173 dari permasalahan tersebut berkaitan dengan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan (3E) sebesar Rp 1,64 triliun.

Kemudian 29 % atau 1.720 permasalahan merupakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp 29,70 triliun, dan sebanyak 18 % atau 1.118 permasalahan terkait Kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI).

"Sehubungan dengan permasalahan 3E, 95,9 % atau sebanyak 3.043 permasalahan merupakan ketidakefektifan sebesar Rp218,56 miliar, 127 permasalahan ketidakhematan sebesar Rp1,42 triliun dan 3 permasalahan ketidakefisienan sebesar Rp1,59 miliar," jelas Isma Yatun.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini