TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pancasila harus mampu menjadi ideologi sekaligus panduan etis bagi seluruh elemen bangsa, dalam menjawab setiap tantangan di masa kini dan mendatang.
"Peringatan hari lahir Pancasila harus menjadi momentum kita untuk menegakkan nilai-nilai Pancasila di negeri ini. Karena nilai-nilai Pancasila sudah dan akan selalu menjadi acuan bagi cara hidup manusia Indonesia," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat memberi sambutan pada diskusi daring bertema Pancasila dan Tantangan Zaman yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 dalam rangka Hari Lahir Pancasila dan Peluncuran Buku "Postulat Hukum Pancasila" dari Sekolah Sukma Bangsa Bireun- Aceh, Rabu (1/6/2022).
Diskusi dimoderatori Dr. Irwansyah (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI).
Hadir sebagai narasumber Prof. Ratno Lukito, MA, DCL (Guru Besar Universitas Islam Negeri/UIN Sunan Kalijaga, Penulis Buku "Postulat Hukum Pancasila"), Agus Wahyudi, Ph.D (Kepala Pusat Studi Pancasila UGM) dan Dr. Atang Irawan, S.H, M.Hum (Pakar Hukum Tata Negara).
Selain itu hadir pula Dr. Ihat Subihat, M.H (Hakim Tipikor Bandung) dan Makmun Rasyid, S.Ud, M.Ag (Co Founder The Center for Indonesian Crisis Strategic Resolution) sebagai penanggap.
Baca juga: Kisah Pengasingan Bung Karno di Ende NTT hingga Perenungan Pancasila di Bawah Pohon Sukun
Menurut Lestari, Prof. Ratno Lukito dalam buku Postulat Hukum Pancasila menyebutkan, Indonesia sebagai negara dengan kompleksitas sejarah lokal, memiliki Pancasila sebagai basis idelogi yang merangkum rule of law dan rule of recognition dengan nilai-nilai dasar dalam sebuah filosofi.
Sebagai ideologi dan filosofi kehidupan bernegara, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, Pancasila merupakan legitimasi terwujudnya bangsa dan negara Indonesia, yang diperlihatkan dalam bentuk tindakan dari para pendahulu bangsa saat sepakat membentuk negeri ini.
Rerie, sapaan akrab Lestari mengungkapkan negeri ini terbentuk dari satu kesepakatan dari para pendiri bangsa yang memiliki beragam latar belakang, untuk merebut kemerdekaan dari penjajah.
Setelah merdeka, ujar Rerie, para pendiri bangsa itu melahirkan Pancasila dengan nilai-nilai yang dikandungnya sebagai pondasi dalam membangun negeri.
Menurut Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus bisa diamalkan secara berkelanjutan dan lintas zaman, dalam setiap langkah mengisi kemerdekaan.
Karena ideologi dan filosofi kehidupan seperti Pancasila, ujar Rerie, pada perjalanannya selalu saja melewati berbagai ujian dalam ruang dan waktu.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Ratno Lukito berpendapat hingga saat ini, belum terjadi revolusi hukum di Indonesia.
Karena, ujar Ratno, hingga saat ini hukum yang berlaku di Indonesia masih mewarisi nilai-nilai hukum di zaman Belanda.
Bahkan, tambahnya, draf revisi RUU KUHP sudah melewati belasan kali kajian, namun belum juga berhasil menjadi undang-undang hingga saat ini.
Padahal, tegas Ratno, bangsa Indonesia memiliki Pancasila, yang nilai-nilai yang dikandungnya bisa menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan sebagai sumber hukum di negeri ini.
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM, Agus Wahyudi mengungkapkan, problem besar negara kita adalah masalah hukum, karena banyak permasalahan di negeri ini sangat berkaitan dengan hukum.
Hal itu terjadi, jelas Agus, karena proses transisi dari hukum di masa kolonial ke masa hukum nasional yang berlaku saat ini, belum mendapat penjelasan secara rinci terkait dasar-dasar hukum yang diberlakukan. Akibatnya, jelas Agus, banyak pihak menginterpretasi hukum yang ada sesuai kepentingan masing-masing.
Nilai-nilai Pancasila, tegas Agus, bisa menjadi inspirasi pada proses pengembangan hukum di Indonesia.
Pakar Hukum Tata Negara, Atang Irawan berpendapat dalam tatanan hukum nasional, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan panduan setiap proses pembuatan kebijakan yang pelaksanaannya harus mengacu pada nilai-nilai Pancasila.
Sangat disayangkan, ujar Atang, dalam penerapan kebijakan di negeri ini seringkali pelaksaannya menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.
Sebagai contoh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa itu, menurut Atang, mengandung makna keberagaman dan toleransi. Namun pada pelaksanaannya, ujar Atang, pendirian tempat-tempat ibadah di negeri ini kerap kali menghadapi kendala.
Berdasarkan kondisi itu, Atang menilai, upaya membumikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap kebijakan yang diberlakukan sangat penting, dengan selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Hakim Tipikor Bandung, Ihat Subihat mengungkapkan ada dua tantangan besar yang harus dihadapi Pancasila yaitu tantangan internal dan eksternal.
Menurut Ihat, tantangan internal terjadi karena rakyat Indonesia mengalami amnesia sejarah, sehingga saat ini banyak terjadi konfrontasi ideologi, bahkan dalam betuk ancaman untuk memecah belah bangsa dan penghancuran sumber daya alam.
Sedangkan tantangan dari luar, jelasnya, dalam bentuk budaya asing yang masuk seiring kemajuan teknologi, di tengah upaya bangsa ini mewujudkan anak bangsa yang memiliki nilai-nilai budi pekerti, ramah dan gotong-royong.
Co Founder The Center for Indonesian Crisis Strategic Resolution, Makmun Rasyid mengungkapkan di kalangan milenial tumbuh pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum masih sebagai lip service saja.
Padahal, jelas Makmun, Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya diharapkan sebagai inspirasi, tetapi harus diimplementasikan.
Makmun sangat prihatin terhadap hasil salah satu survei di kalangan milenial yang menunjukkan bahwa hanya Sila Pertama Pancasila Ketuhanan Maha Esa yang dikenal oleh kalangan milenial. Sementara, ujarnya, empat sila lainnya tidak banyak dikenal oleh kalangan milenial.
Kondisi itu, ujar Makmun, menimbulkan kekhawatiran bahwa kelompok milenial yang tidak memahami Pancasila berpotensi melakukan tindakan yang menyimpang dari nilai-nilai yang kita sepakati di negeri ini.
Wartawan senior Saur Hutabarat menyoroti postulat kemanusiaan pada sila ke-2 Pancasila. "Apakah hukuman mati sesuai dengan sila ke-2 Pancasila Kemanusiaan yang adil dan beradab?" ujar Saur.
Dia menilai hukuman mati tidak sesuai dengan nilai Kemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila. Karena itu, tegas Saur, hukuman mati harus dicabut dari hukum positif di tanah air.
Apalagi, ujar Saur, di era modern hukuman mati di satu negara dinilai melanggar hak azasi manusia (HAM).