TRIBUNNEWS.COM - Arus perkembangan teknologi semakin berkembang pesat.
Sayangnya tidak semua bisa berkontribusi dengan baik serta berimplikasi negatif pada sisi lain.
Seperti yang belakangan ini kerap terjadi, konten-konten viral di media sosial yang justru mendatangkan kritikan masyarakat.
Tak sedikit dari mereka justru membawa atribut profesi maupun agama.
UU ITE Sosial Media
Menurut UU No 11 Tahun 2016 Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) konten informasi elektronik masih bisa dijadikan delik.
Dalam Pasal 27 UU ITE dikategorikan konten atau perbuatan yang dilarang.
Yakni konten melanggar kesusilaan, perjudian, memuat penghinaan dan atau pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman, penipuan, dan provokasi SARA.
Advokat Peradi dan Pengajar Solo, Sigit Sudibyanto, mengatakan konten yang membawa atribut profesi bisa saja dilaporkan dan ditindak lanjuti.
Tentu tetap mempertimbangkan isi konten dari unggahannya tersebut.
Jika konten yang dibuat dirasa melanggar UU ITE khusunya pada pasal 27 maka bisa dilaporkan.
Kalau sifatnya hanya melanggar kode etik, maka dewan kehormatan masing-masing profesi yang bisa bertindak.
Baca juga: Viral Video Nakes Sengaja Uyel-uyel Bayi hingga Nangis demi Konten TikTok, Pihak RS Membenarkan
Baca juga: VIRAL Video Nakes Sengaja Uyel-uyel Pipi Bayi Sampai Nangis demi Konten, RSIA Santa Anna Klarifikasi
"Jika memang ada potensi pelanggaran tentunya negara harus bersikap. Dilihat dulu kontennya, kalau menyinggung hal hal yang dilarang UU ITE khusunya pasal 27 nanti bisa ditindak lanjuti,"
"Netizen yang merasa dirugikan juga bisa melaporkan kepada kepolisian,"
"Undang-undang ini juga untuk mengantisipasi kelalaian berupa candaan yang membuat kegaduhan di media sosial,"
"Kalau melanggar kode etik maka dewan kehormatan masing-masing profesi yang bisa bertindak," kata Sigit dalam acara Kacamata Hukum Tribunnews.com, Senin (6/7/2022).
Artinya, delik pidana hanya bisa diproses jika korban yang merasa dirugikan melaporkan ke kepolisian.
"Tahun 2016 ada revisi UU ITE, yang dahulunya mengenai pencemaran atau melanggar kesusilaan adalah delik umum, artinya siapa saja bisa melaporkan, "
"Setelah revisi, UU ITE lebih selaras dengan KUHP, menjadi agak lunak menjadi delik aduan.
"Jadi delik pidana bisa diproses jika korban yang merasa dirugikan yang melaporkan," jelasnya.
Sanksi
Sigit mengatakan, jika konten atau perbuatan sudah bersifat kriminal maka bisa dijerat pidana.
Yakni dengan ancaman hingga enam tahun dan denda maksimal Rp 1 Miliyar.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 45 a UU ITE.
"Kalau sudah sifatnya kriminal, UU ITE secara normatif ancamannya sampai enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 Miliyar,"
"Tapi kalau berupa pencemaran nama baik melalui media sosial, sifatnya delik aduan, kalau sudah dimaafkan ya bisa dicabut tidak ada sanksi pidana," jelasnya.
(Tribunnews.com/Milani Resti)