News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

BPOM: Pelabelan BPA pada Galon Tak Matikan Industri, Murni untuk Lindungi Masyarakat

Penulis: Anniza Kemala
Editor: Bardjan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sarasehan Upaya Perlindungan Kesehatan Masyarakat Melalui Regulasi Pelabelan Bisfenol A (BPA) Pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK)”, Selasa (7/6/2022).

TRIBUNNEWS.COM – Dalam “Sarasehan Upaya Perlindungan Kesehatan Masyarakat Melalui Regulasi Pelabelan Bisfenol A (BPA) Pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK)”, Selasa (7/6/2022), Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito, menekankan bahwa regulasi pelabelan Bisfenol A (BPA) pada produk Air Minum dalam Kemasan (AMDK) adalah murni upaya perlindungan pemerintah atas kesehatan masyarakat.

Draf revisi regulasi pelabelan BPA tersebut sudah diserahkan ke Sekretariat Kabinet dan sudah mendekati ketuk palu. Diskusi terbuka yang dilakukan bertujuan membangun komunikasi antar sektor dan transparansi publik.

"Regulasi pelabelan risiko BPA sudah kami serahkan ke Sekretariat Kabinet untuk pengesahan dan kami diminta untuk mendiskusikannya secara terbuka ke publik, termasuk pada hari ini," kata Penny, Selasa (7/6/2022).

Draf regulasi yang mulai dipublikasikan pada November 2021 tersebut mewajibkan produsen AMDK yang menggunakan galon berbahan plastik polikarbonat untuk memasang label peringatan "Berpotensi Mengandung BPA", kecuali mampu membuktikan sebaliknya.

Draf tersebut juga mencantumkan masa tenggang (grace period) penerapan aturan selama tiga tahun sejak pengesahan.

Menurut Penny, regulasi pelabelan BPA mengacu pada hasil kajian dan riset mutakhir di berbagai negara terkait risiko paparan BPA pada kesehatan publik. "Semua kajian (scientific research) lebih kepada resiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan akibat dari BPA," tambahnya.

Pelabelan tersebut, lanjut Penny, bisa memotivasi pelaku industri untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan air minum yang aman bagi kesehatan publik.

"Dari sisi konsumen, pelabelan risiko BPA adalah hak masyarakat untuk teredukasi dan memilih apa yang aman untuk dikonsumsi," katanya.

Penelitian ungkap risiko kesehatan BPA tinggi

Sebagaimana diketahui, BPA merupakan jenis bahan kimia yang bisa ditemukan pada kemasan pangan yang terbuat dari plastik berjenis polikarbonat, seperti botol air minum, galon guna ulang, botol susu bayi, kaleng makanan, dan lain-lain.

Namun, penggunaan kemasan pangan polikarbonat yang mengandung BPA ini bukanlah tanpa risiko. Beberapa penelitian menunjukan bahaya migrasi BPA terhadap kesehatan, termasuk memicu berbagai penyakit.

Pada sarasehan tersebut, Deputi Bidang Pengawasan Pangan BPOM Rita Endang memaparkan berbagai risiko penyakit akibat paparan BPA pada galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat.

Pertama, Rita menjelaskan proses terganggunya sistem hormon tubuh, terutama hormon reproduksi, akibat paparan BPA yang berpindah dari kemasan pangan.

"BPA bekerja dengan mekanisme endocrine disruptor, khususnya hormon estrogen," ujar Rita.

Gangguan sistem hormon tersebut utamanya berdampak pada sistem reproduksi, baik pada pria dan wanita. Gangguan tersebut dapat menyebabkan kemandulan, menurunnya jumlah dan kualitas sperma, feminisasi pada janin laki-laki, gangguan libido, hingga sulit ejakulasi.

Risiko kesehatan lain akibat paparan BPA adalah penyakit tidak menular, seperti diabetes melitus dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal kronis, kanker prostat, dan kanker payudara.

Selain itu, masih ada efek serius berupa gangguan perkembangan kesehatan mental dan autisme pada anak-anak.

Dukungan terhadap pengesahan regulasi pelabelan BPA demi kesehatan masyarakat juga datang dari berbagai kalangan, termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, kalangan peneliti lintas ilmu dari berbagai universitas dan DPR RI.

Dari Surabaya, Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Prof. Junaidi Khotib, adalah satu dari sekian banyak pihak yang mendesak BPOM segera menerbitkan aturan pelabelan risiko BPA, agar masyarakat tidak terus-menurus terpapar BPA pada galon guna ulang polikarbonat.

Menurutnya, saat ini masyarakat belum lagi mengetahui bahaya besar dari paparan BPA. "Bagaimana bisa tahu bila label peringatannya belum pernah ada," katanya.

Dukungan juga datang dari Guru Besar Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Profesor Andi Cahyo Kumoro.

Menurut Andi, pelepasan BPA pada galon guna ulang polikarbonat rentan terjadi bila galon sampai tergores atau terpapar sinar matahari langsung. Efeknya, paparan BPA bisa memunculkan gangguan pada sistem saraf dan perilaku anak, sementara pada ibu hamil, bisa memicu keguguran.

"Di berbagai negara sudah tidak direkomendasikan menggunakan kemasan yang mengandung BPA," ungkapnya.

Hasil uji tunjukan level migrasi BPA galon lewati batas aman

Sarasehan Upaya Perlindungan Kesehatan Masyarakat Melalui Regulasi Pelabelan Bisfenol A (BPA) Pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK)”, Selasa (7/6/2022).

Selain mencakup kewajiban bagi produsen memasang label peringatan risiko BPA pada galon, draf regulasi tersebut juga mengatur tentang jumlah BPA, merujuk pada tren ambang Tolerable Daily Intake (jumlah BPA yang wajar dikonsumsi tubuh) di sejumlah negara yang makin ketat.

Otoritas keamanan pangan Eropa, European Food Safety Authority (EFSA) pada tahun 2010 menetapkan ambang TDI untuk BPA sebesar 50 mikrogram per kilogram berat badan per hari.

Sebagai informasi, seiring kemunculan berbagai riset dan penelitian teranyar yang menunjukkan BPA sebagai endocrine disruptor yang bisa memicu sejumlah penyakit serius, EFSA memperkecil ambang TDI menjadi 4 mikrogram. pada tahun 2015,

Pada akhir 2021, TDI dipatok turun jadi 0,00004 mikrogram atau 100.000 kali lebih rendah. Inilah alasan kenapa Uni Eropa menurunkan level migrasi BPA menjadi 0,05 bpj (bagian per juta) dari sebelumnya 0,6 bpj pada 2011.

Sebagai perbandingan, sejak 2019, Indonesia mematok level migrasi BPA 0,6 bpj sebagai syarat yang wajib dipatuhi produsen pangan, termasuk produsen galon guna ulang polikarbonat yang mengandung BPA.

Namun, hasil pengecekan pascapasar yang dilakukan BPOM atas galon guna ulang yang beredar luas periode 2021-2022 menunjukkan level migrasi BPA melewati ambang batas aman.

"Hasil pengecekan menunjukkan ada 3,4 % dari total sampel galon air minum pada sarana distribusi dan peredaran yang level migrasi BPA-nya sudah di atas ambang batas aman 0,6 bpj," jelasnya

Sementara itu, hasil uji juga menunjukkan level migrasi yang mengkhawatirkan, yakni berada di antara ambang batas 0,05-0,6 bpj. Hasil tersebut mencapai 46,97 % dari total sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 30,91 % pada sarana produksi.

"Ini artinya migrasi BPA pada galon guna ulang sudah sangat mengkhawatirkan dan karena itulah BPOM hadir untuk menyusun regulasi terkait pelabelan risiko BPA," lanjut Rita.

Menurutnya, sejumlah negara seperti Prancis dan Brasil bahkan telah melarang peredaran kemasan pangan berbahan polikarbonat karena potensi bahaya kesehatan yang nyata.

"Di Perancis sudah nggak ada lagi lho galon yang mengandung BPA," katanya.

Dorong iklim kompetisi sehat pada industri AMDK bermerek

Tak lupa, Rita juga merespons pandangan kontra dari industri AMDK atas draf regulasi pelabelan BPA tersebut. Dalam berbagai kesempatan, asosiasi perusahaan AMDK mengklaim pelabelan akan memicu lonjakan volume sampah plastik karena konsumen akan beralih ke galon sekali pakai yang notabene bebas BPA.

"Yang diinginkan BPOM sebatas produsen memasang stiker peringatan. Jadi, tidak ada isu tentang sampah plastik sama sekali. Jangan diputarbalikkan. Urusan sampah adalah tanggung jawab masing-masing pelaku usaha, termasuk untuk sampah plastik sekali pakai. Produsen yang bertanggung jawab agar sampah tersebut bisa didaur ulang," sambung Rita.

Lebih lanjut dijelaskan, pelabelan BPA tak bermaksud mematikan industri AMDK. Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk galon air minum bermerek yang berizin edar.

"Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum," kata Rita. Ia menjabarkan bahwa sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM.

Secara khusus, Rita merinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengonsumsi air kemasan bermerek.

Dari total 21 miliar liter produksi industri air kemasan per tahunnya, papar Rita, 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari angka tersebut, 96,4 persen berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.

"Artinya 96,4 persen tu mengandung BPA. Hanya 3,6 persen yang merupakan jenis kemasan plastik bebas dari BPA atau PET (Polietilena Tereftalat). Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang,” tegasnya.

Bagaimanapun, tegas Rita, regulasi terkait pelabelan galon guna ulang juga bertujuan mendidik masyarakat serta memenuhi hak konsumen atas informasi produk yang mereka konsumsi secara detail.

Rita juga menyampaikan, pelabelan BPA yang menuai kontra dari asosiasi perusahaan air minum adalah semata untuk melindungi konsumen. "Jadi tidak ada istilah kerugian ekonomi,” tandasnya.

Terakhir, Rita menjelaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang juga bertujuan untuk melindungi pelaku usaha dan pemerintah terhadap potensi tuntutan masyarakat (class action) di masa depan.

Lewat pelabelan, pemerintah mendorong industri AMDK berlomba menghadirkan kemasan dan memasarkan produk yang lebih aman, sehat, dan bermutu untuk kesehatan masyarakat. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta iklim kompetisi yang lebih sehat pula pada industri AMDK.

Dan semua perwakilan menyampaikan urgensi atas regulasi ini, atas dasar untuk kesehatan dan keselamatan konsumen dan dari sisi pelaku industri ini adalah motivasi untuk inovasi dari sisi konsumen, ini adalah hak untuk teredukasi dan memilih apa yang aman untuk dikonsumsi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini