TRIBUNNEWS.COM - Saat ini, seluruh dunia sedang mengalami tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Serta situasi geopolitik Rusia-Ukraina yang berdampak pada lonjakan harga komoditas pangan dan energi.
Salah satu negara yang mengalami kondisi perekonomian yang buruk adalah Sri Lanka.
Negara tersebut bangkrut setelah gagal mengatasi krisis ekonomi.
Mengutip Associated Press, mata uang Sri Lanka telah jatuh hingga 80 persen, membuat impor lebih mahal dan memperburuk inflasi yang sudah tidak terkendali, dengan makanan biaya naik 57 persen .
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Baca juga: Daftar 9 Negara yang Terancam Bangkrut Seperti Sri Lanka akibat Krisis Ekonomi
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kondisi perkonomian Indonesia tidak akan mengalami nasib seperti Sri Lanka.
Lantaran, Indonesia memiliki ketahanan yang lebih baik sehingga mampu mencegah kondisi kebangkrutan, dikutip dari Kompas.com.
Menkeu menilai, indikator-indikator ekonomi Indonesia saat ini dalam kondisi yang cukup baik.
Baca juga: Presiden Gotabaya Rajapaksa Kabur, Sri Lanka Umumkan Keadaan Darurat
Sehingga risiko resesi ekonomi yang dialami Indonesia hanya sebesar 3 persen, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Bloomberg.
Kondisi tersebut jauh lebih baik jika dibandingkan dengan negara lainnya yang bahkan memiliki potensi resesi lebih dari 70 persen.
Meski demikian, ia memastikan Pemerintah tidak akan terlena dengan hal itu dan akan tetap mewaspadai ketidakpastian global.
"Ini tidak berarti kita terlena, tapi tetap waspada. Namun pesannya adalah kita tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan, naik itu fiskal, moneter, sektor finansial, dan regulasi lainnya untuk memonitor itu (potensi resesi), termasuk kondisi dari korporasi Indonesia," ujarnya dalam konferensi pers rangkaian Pertemuan G20 di Bali, Rabu (13/7/2022).
Menkeu menjelaskan, saat ini seluruh dunia sedang mengalami konsekuensi dari geopolitik Rusia-Ukraina.
"Seluruh dunia sekarang menghadapi konsekuensi dari geopolitik dalam bentuk kenaikan harga bahan-bahan makanan dan energi yang mendorong lebih tinggi lagi inflasi, setelah tadinya sudah meningkat akibat pandemi," ujar Sri Mulyani.
Kenaikan inflasi yang tinggi juga dialami oleh negara-negara maju yang biasanya mengalami deflasi.
Lonjakan inflasi itu membuat negara-negara mengambil kebijakan antisipatif.
Namun, tidak semua negara memiliki iketahanan yang cukup untuk mampu bertahan.
Selain itu, ketahanan ekonomi suatu negara berbeda dengan negara lainnya.
Terlebih lagi adanya kenaikan harga pangan dan energi dan konsisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19.
"Jadi kalau mereka mengalami kontraksi akibat pandemi dan belum pulih, ditambah dengan kemudian inflasi yang sekarang terjadi, ini akan makin menimbulkan kompleksitas suatu negara," ucap Menkeu.
(Tribunnews.com, Widya) (Kompas.com, Yohana Artha Uly)