TRIBUNNEWS.COM - AKBP Raden Brotoseno telah dipecat dari keanggotaan Polri pada Kamis (14/7/2022) kemarin.
Sebelumnya, Brotoseno diketahui masih menjadi anggota Polri meski pernah menjadi narapidana kasus korupsi hingga menimbulkan polemik.
Kini, dalam sidang peninjauan kembali (PK) terhadap putusan etik dikeluarkan putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Brotoseno.
"Memutuskan untuk memberatkan putusan sidang Komisi Kode Etik Polri Nomor: PUT/72/X/2020 pada 13 Oktober 2020 menjadi sanksi administratif berupa PTDH."
"Saya ulangi menjadi sanksi administratif berupa PTDH atau Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai anggota Polri," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Polri Kombes Nurul Azizah di Mabes Polri, dikutip Tribunnews.com dari kanal YouTube Kompas TV, Jumat (15/7/2022).
Nurul mengatakan, hasil putusan KKEP PK itu akan dikirimkan kepada bidang sumber SDM Polri untuk diterbitkan keputusan PTDH Brotoseno.
"Sekretariat KKEP PK akan kirimkan putusan KKEP PK ke SDM untuk ditindaklanjuti dengan terbitkan KEP PTDH. Jadi saat ini untuk KEP PTDH-nya belum ada," ucapnya.
Menanggapi hal tersebut, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, berharap kasus Brotoseno dapat dijadikan pembelajaran bagi anggota Polri.
Terutama, kata Kurnia, untuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Mestinya Kapolri dapat menjadikan peristiwa itu sebagai momentum untuk lebih giat dan serius memberantas korupsi di internal Polri,” ucapnya.
Lebih lanjut, Kurnia mengatakan, pemecatan AKBP Brotoseno mengingatkan Polri agar lebih responsif terhadap kritik, masukan, dan pertanyaan dari masyarakat.
Kurnia menyebut, pemecatan Brotoseno bukan babak akhir dari pemberatasan korupsi di lembaga Polri.
Di sisi lain, ICW menilai Polri masih lambat dalam menangani kasus Brotoseno.
“Jadi dapat kami simpulkan bahwa Polri lambat dan baru bergerak jika suatu permasalahan viral terlebih dahulu di tengah masyarakat,” kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
Terkait isu Brotoseno ini, sebelumnya ICW sudah menanyakannya melalui surat resmi ke Kepolisian sejak bulan Januari, namun hingga akhir Mei tidak kunjung dibalas.
Dikutip dari Kompas.com, ICW pun merekomendasikan Kapolri segera berkoordinasi dan mendorong pemerintah supaya merevisi ketentuan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) anggota Polri.
Adapun aturan itu, diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 (PP 1/2003) tentang Pemberhentian Anggota Polri.
Sebab, kata Kurnia, regulasi itu seolah menyamaratakan korupsi dengan pidana umum lain dan juga menafikannya sebagai suatu kejahatan luar biasa.
Ia berpandangan, ketentuan tersebut masih membuka celah bagi anggota Polri yang terlibat praktik korupsi, seperti Brotoseno, untuk dapat pengampunan melalui sidang KKEP Kepolisian.
Selain itu, ICW mendorong agar Kapolri membentuk tim khusus antikorupsi Polri dengan fungsi penegakan hukum.
Diketahui, AKBP Brotoseno merupakan eks napi korupsi yang tak dipecat dari institusi kepolisian.
Ia divonis lima tahun hukuman penjara dan denda hingga akhirnya bebas pada awal tahun 2020.
Meski demikian, Brotoseno masih menjadi anggota kepolisian
Pasalnya, dalam sidang etik yang telah dijalani tahun 2020, Brotoseno hanya dikenakan sanksi permintaan maaf dan demosi.
Setelah adanya berbagai polemik, Polri pun memutuskan untuk mengadakan KKEP PK atas AKBP Brotoseno.
Baca juga: Sekelumit Perjalanan Kasus AKBP Raden Brotoseno Hingga Dipecat dari Polri
Perjalanan Kasus AKBP Raden Brotoseno:
Terjaring OTT Divisi Propam Polri pada November 2016
Diberitakan Tribunnews.com, Brotoseno terjaring dalam operasi tangkap tangan Divisi Propam Polri pada 17 November 2016.
Pada waktu itu, Polri menyita uang senilai Rp 1,9 miliar, dari total yang akan diserahkan Rp 3 miliar.
Dugaan awal, Brotoseno melakukan pemerasan kepada tersangka kasus dugaan korupsi cetak sawah yang tengah ditangani Bareskrim Polri.
Kemudian, Brotoseno ditetapkan sebagai tersangka pada 18 November 2016.
Divonis 5 tahun penjara
Atas perbuatannya, Brotoseno dijatuhi vonis 5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta setelah melalui serangkaian pemeriksaan dan persidangan pada 14 Juni 2017.
Brotoseno juga diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Dalam amar putusan, Brotoseno terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.
Berdasarkan surat dakwaan, Brotoseno menerima uang sebanyak Rp 1,9 miliar dalam kasus penyidikan dugaan tindak pidana korupsi cetak sawah di daerah Ketapang, Kalimantan Barat.
Selain itu, ia menerima 5 tiket pesawat Batik Air kelas bisnis seharga Rp 10 juta atas permintaannya sendiri.
Brotoseno didakwa bersama penyidik Dittipikor Bareskrim Polri Dedy Setiawan Yunus, dan 2 pihak swasta yaitu Harris Arthur Hedar dan Lexi Mailowa Budiman.
Brotoseno diketahui menerima uang dari Harris selaku advokat Jawa Pos Group untuk mengurus penundaan panggilan pemeriksaan terhadap Dahlan Iskan yang sedianya diperiksa dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi cetak sawah di daerah Ketapang.
Bebas Awal Tahun 2020
Brotoseno bebas dari hukuman pada 15 Februari 2020.
Meski divonis 5 tahun penjara, Brotoseno hanya menjalani hukuman selama kurang lebih 3 tahun.
Sebab, Brotoseno mendapatkan bebas bersyarat dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor PAS-1052.OK.01.04.06 Tahun 2019 tentang Pembebasan Bersyarat Narapidana.
(Tribunnews.com/Suci Bangun DS/Igman Ibrahim, Kompas.com/Adhyasta Dirgantara/Rahel Narda Chaterine, Kompas.tv)
Simak berita lainnya terkait Polemik AKBP Raden Brotoseno