TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Survei terbaru LSI Denny JA pada awal Juli 2022 menyebut suara komunitas digital alias netizen memiliki potensi besar mempengaruhi hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.
Kantong suara komunitas digital ini disandingkan dengan kantong suara besar lainnya yang sudah ada dan juga memiliki pengaruh dalam Pilpres, yakni kantong suara wong cilik dan kantong suara pemilih Islam.
Direktur CPA-LSI Denny JA, Ade Mulyana mengatakan hasil survei terbaru LSI Denny JA, saat ini pertama kalinya dalam sejarah, dua tahun menjelang Pilpres 2024, komunitas digital atau yang biasa disebut netizen ini jumlahnya sudah 50 persen lebih untuk pengguna Facebook.
Kemudian untuk pengguna WhatsApp dan WhatsApp grup mencapai 60 persen.
"Nah jadi dengan jumlah yang di atas 50 persen ini, maka kami kategorikan bahwa netizen ini merupakan kantong suara besar baru di samping kantong-kantong suara besar yang lama, misalnya, kita tahu kantong suara besar dari wong cilik dan juga pemilih muslim," kata Ade Mulyana dalam diskusi virtual XYZ+ bertajuk 'Netizen Menentukan Pemenang Pilpres 2024' yang digelar, Sabtu (16/7/2022).
Baca juga: Politikus Golkar: KIB Itu Kerja Sama Politik untuk Pilpres, Pileg, dan Pilkada
Dia menjelaskan bahwa untuk survei nasional ke depannya, pihaknya akan lebih concern untuk menggali lebih dalam dan mendetail data di lapangan mengenai potensi masing-masing pengguna platform media sosial, termasuk Instagram, YouTube, Twitter, dan TikTok.
Fenomena munculnya kantong suara baru yang potensial yakni komunitas digital sebagai penentu dalam pemilu juga terjadi di Filipina, di mana putra mantan diktator Ferdinand Marcos, yakni Ferdinand Marcos Jr berhasil memenangkan pemilu dan menjadi orang nomor satu di Filipina, berkat kampanye digital yang masif.
Menurut dia, ada dua kesamaan antara kondisi di Indonesia dan di Filipina.
Baca juga: Survei Indopol: Hasil Simulasi Empat Poros pada Pilpres 2024, Anies-AHY Raih Suara Tertinggi
Pertama, Filipina pada era pemerintahan Marcos boleh dibilang masa diktator.
Indonesia juga pernah mengalami masa Orde Baru, jaman Soeharto.
Kedua, mayoritas pemilih di Filipina itu berasal dari kalangan muda.
"Kemungkinan nanti juga sama di Indonesia pada 2024 di mana mayoritas pemilih kita juga adalah mereka yang berusia muda," kata Ade Mulyana.
Baca juga: Pengamat Sebut Sosok Cawapres Bisa Jadi Penentu Kemenangan di Pilpres 2024
Dengan kesamaan-kesamaan ini, dikatakan Ade Mulyana perlu khawatir karena memang ada semacam short-term memory dari pengguna media sosial bahwa mereka terkesan cepat lupa ingatan.
Menurutnya, meskipun masa lalu Marcos ini pernah jadi diktator, tetapi ketika putranya melakukan pencitraan di media sosial, dengan mungkin disrupsi informasi dan lain sebagainya.