"Lalu pada luka yang berdasarkan informasi yang didapatkan dari keluarga dan penasehat hukumnya. Ada beberapa tempat yang diduga secara penglihatan mereka adalah luka, maka disitu menjadi fokus juga penelitian kami untuk diperiksa."
"Tentu itu harus diperiksa intravital lukanya, apakah betul itu luka. Kalau memang betul luka, apakah itu luka yang terjadi sebelum atau setelah kematian," pungkasnya.
Baca juga: Berharap Penuhi Rasa Keadilan, Kapolri Minta Masyarakat Awasi Penanganan Kasus Kematian Brigadir J
Jika Ada Perbedaan Hasil, Autopsi Ulang Brigadir J Disebut Bisa Timbulkan Persoalan Penanganan Kasus
Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, autopsi ulang atas Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat disebut bisa menimbulkan sejumlah persoalan.
Selain berpotensi terjadi perbedaan simpulan hasil, proses autopsi pun mempunyai tingkat kesulitan yang lebih tinggi karena faktor pembusukan jenazah dan faktor tindakan yang telah dilakukan pada autopsi sebelumnya.
Kemungkinan hasil autopsi ulang yang akan diperoleh adalah sama dengan hasil autopsi yang pertama; atau berbeda atau ada temuan baru dibandingkan hasil autopsi sebelumnya.
Perbedaan hasil autopsi akan menimbulkan persoalan pada penanganan kasus selanjutnya.
Terutama terkait hasil autopsi mana yang akan digunakan dalam proses persidangan, apa dampak berikutnya, lalu bagaimana nasib para dokter yang melakukan pemeriksaan pada autopsi sebelumnya?
Baca juga: Bharada E Tenang Jawab Pertanyaan, Komnas HAM Sebut Bahkan Nonton Tayangan Kasus Tewasnya Brigadir J
Tak hanya itu persoalan lainnya yakni terkait nasib para dokter tersebut, apakah bisa dipersalahkan, adakah faktor tekanan dalam menyimpulkan hasil autopsi, serta apakah terjadi pelanggaran etik, disiplin dan hukum.
Apabila terjadi perbedaan hasil autopsi dan terbukti para dokter telah melakukan pelanggaran etika, disiplin dan hukum, Kode Etik Kedokteran Indonesia khususnya Pasal 14 menyatakan, ”Seorang Dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh keilmuan untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu.”
Selain itu, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya Pasal 51 ayat (a) menyatakan, "Dokter mempunyai kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien."
Lalu berdasarkan Pasal 242 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dinyatakan, “Barang siapa dalam hal–hal yang menurut peraturan undang-undang menuntut sesuatu keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.”
Baca juga: LPSK Pastikan Sudah Surati Orang Tua Brigadir J untuk Tawarkan Perlindungan, Tapi Belum Direspon
Persoalan berikutnya adalah tidak optimalnya proses autopsi ulang yang dilakukan karena jenazah telah mengalami pembusukan dan faktor tindakan yang telah dilakukan pada autopsi sebelumnya.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan Mediasi Kesehatan Rakyat menilai pada jenazah yang telah mengalami pembusukan, bukti-bukti yang terdapat pada jenazah akan semakin kabur.