Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, menilai penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) soal minat masyarakat menggunakan minyak goreng tidak menarik dan terkesan dipaksakan.
Legislator PKS itu berpendapat hasil penelitian tersebut menunjukkan BRIN tidak punya agenda prioritas dan strategis.
Penelitian diarahkan untuk mencari pembenaran atau pemakluman atas klaim politik dewan pengarah.
"Ini yang kita khawatir dari awal tentang politisasi IPTEK, di mana riset diarahkan untuk membenarkan atau mendukung klaim politik. Bila dibiarkan seperti ini, lembaga riset akan mandeg dan tidak produktif. Karena itu, dari awal saya tidak setuju, ketua dan anggota dewan pengarah dari parpol," kata Mulyanto kepada wartawan, Sabtu (30/7/2022).
Mulyanto mengingatkan lembaga riset harus bekerja di bawah metodologi yang ketat, diuji oleh tim yang andal serta dijalankan dengan proses yang independen, sehingga hasilnya obyektif-rasional dan bermanfaat bagi masyarakat.
"Lembaga riset mestilah selektif dalam memilih tema riset sesuai dengan agenda dan Prioritas Riset Nasional, tidak terjebak pada isu-isu politik praktis. Apalagi bersifat partisan," kata dia.
"Dana riset yang terbatas ini perlu dikelola secara optimal, agar bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Apalagi di tahun politik, kegiatan lembaga riset negara harus netral. Jangan ngurusi hal-hal kecil apalagi bersifat partisan," jelas Mulyanto.
Mulyanto meminta pemerintah mengembalikan kegiatan riset kepada khithohnya atau kepada tujuan dan metodelogi dasar agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Kegiatan riset harus bersih dari agenda dan kepentingan kelompok tertentu.
Baca juga: Renovasi Ruang Kerja 10 Anggota Dewan Pengarah BRIN Habiskan Rp 6,1 Miliar
"BRIN itu milik negara sehingga harus bekerja untuk kepentingan negara. Jangan reduksi eksistensi BRIN hanya untuk kepentingan kelompok tertentu," tandas Mulyanto.
Diketahui, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merilis temuan bahwa seiring naiknya harga minyak terjadi perubahan perilaku konsumsi pada konsumen Indonesia.
Peneliti BRIN Yuda Bakti menjelaskan, warga memutuskan tidak memasak dengan cara menggoreng. Tujuannya agar penggunaan minyak goreng berkurang.
"Dengan mengubah metode masak menjadi merebus, mengukus atau memanggang," kata dia dalam webinar, Kamis (28/7/2022).
Temuan itu tercantum dalam laporan riset berjudul Perubahan Perilaku Konsumen Sebelum dan Setelah Dicabutnya Subsidi Minyak Goreng Sawit
Menurut riset tersebut konsumsi nasional minyak goreng sawit di Indonesia periode 2015-2021 tercatat terus mengalami peningkatan.
Pada tahun 202, untuk pangan tercatat 8,95 juta ton atau naik 6 persen. Lalu untuk oleokimia 2,13 juta ton atau naik 25 % dan biodiesel 7,34 juta ton atau naik 2 % .
Kemudian untuk konsumsi rumah tangga minyak goreng sawit di Indonesia 2015-2020 rata-rata mengalami peningkatan 2,32 % per tahun.
Di sisi lain, ada juga masyarakat yang menggunakan minyak goreng meski harga mahal.
Banyak masyarakat yang beralih ke minyak goreng non sawit seperti minyak kanola, kedelai, jagung dan bunga matahari hingga membuat minyak kelapa sendiri.
Kemudian masyarakat juga mengurangi pembelian minyak goreng dengan cara menggunakan berulang kali.
"Memang terjadi perubahan perilaku konsumsi dari aspek jumlah dan frekuensi tetapi tidak beralih ke minyak goreng curah," jelas dia.
Dalam mengonsumsi minyak sawit, masyarakat juga memperhatikan kualitas, harga, dan aksesibilitas. Ada beberapa merek yang paling banyak dicari seperti Bimoli, Sunco, Sania dan Tropical.
Harga yang bisa diterima oleh masyarakat di kisaran Rp 15 ribu hingga Rp 19.200 per liter.