Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum keluarga Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak menyoroti soal narasi tewasnya kliennya akibat baku tembak.
Hal ini terkait dengan temuan adanya luka tembak di bagian belakang kepala yang menembus ke hidung.
Jika memang terjadi baku tembak antaran Brigadir J dengan Bharada E seperti yang disebutkan selama ini harusnya posisi keduanya berhadap-hadapan.
"Ya pasti dong kan pelurunya tadi cuma empat. kata Karo Penmas peluru cuman empat yang ditembakkan kan lima yang kena kan empat di kepala, berarti kan dari belakang bukan tembak menembak ya kalau tembak menembak kan hadap-hadapan," kata Kamaruddin kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (2/8/2022).
Baca juga: Hasil Autopsi Ulang Butuh Waktu 8 Minggu, Kuasa Hukum Ungkap Asal-usul Informasi Forensik Brigadir J
Dia menyindir jika pistol milik Polri kini sudah canggih.
Peluru itu bisa memutar balik setelah ditembak dari depan.
"Nah ini ditembak dari depan kena belakang (kepala) berarti peluru pintar Polri sudah hebat. Ajudan-ajudan sudah punya peluru pintar, ditembak dari depan mutar balik kena belakang (kepala) kan begitu," paparnya.
Pihak Brigadir J Beberkan Hasil Autopsi Ulang
Kamaruddin Simanjuntak yang menjadi penasehat hukum atau pengacara pihak keluarga Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, membuka hasil autopsi jenazah Brigadir J ke publik.
Sesuai dengan catatan langsung dari hasil pemeriksaan para dokter forensik dan juga dokter sebagai saksi perwakilan dari keluarga, terdapat beberapa lubang yang diduga adalah luka tembak di tubuh Brigadir J.
"Berdasarkan hasil autopsi yang kedua setelah jenazahnya digali, kita menetapkan dua tenaga kesehatan, satu dokter satu magister kesehatan untuk mewakili keluarga dan penasehat hukum."
"Karena terus terjadi negosiasi-negosiasi yang awalnya penasehat hukum boleh menyaksikan penggalian dan autopsi, keluarga boleh menyaksikan, dan bahkan keluarga disediakan CCTV terus akhirnya bergesernya tidak boleh (datang pada waktu autopsi) dengan alasan pelanggaran kode etik kedokteran."
"Jadi hanya yang berprofesi sebagai dokter atu tenaga medis yang boleh melihat (autopsi ulang), jadi di jam-jam terakhir apabila ada keluarga, atau orang yang bisa dipercaya atau pengamat boleh (hadir) yang penting profesinya dokter atau di bidang kesehatan."