News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sidang Praperadilan Bupati Mimika, Ahli: Hitungan Kerugian Negara Tak Boleh Bersifat Potensi

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Whiesa Daniswara
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Lanjutan sidang praperadilan penetapan tersangka KPK terhadap Bupati Mimika Eltinus Omaleng, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (23/8/2022).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang lanjutan praperadilan penetapan tersangka KPK terhadap Bupati Mimika, Eltinus Omaleng dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Gereja Kingmi Mile 32, Kabupaten Mimika, Papua, Selasa (23/8/2022).

Sidang beragendakan mendengar keterangan saksi ahli yang diajukan pihak Eltinus selaku Pemohon.

Dua saksi ahli yang dihadirkan yakni Dosen Hukum Keuangan Negara Universitas Indonesia, Dian Simatupang; dan Ahli Pakar Pidana UII Yogyakarta, Mudzakir.

Dalam keterangan di persidangan, Dian Simatupang menyebut bahwa pernyataan soal kerugian negara harus memiliki format audit.

Perhitungan kerugian negara tak boleh dimunculkan hanya berdasarkan indikasi, asumsi, atau potensi.

Baca juga: Pihak Bupati Mimika Soroti Nihilnya Hitungan Kerugian Negara saat Sidang Praperadilan KPK

Tapi sebaliknya, yakni atas dasar kenyataan dan bersifat pasti.

"Ketika hasil audit dilakukan, maka akan muncul jumlah kerugian negara yang nyata dan pasti."

"Tidak boleh kerugian negara masih indikasi, kemungkinan, potensi, atau asumsi. Tapi betul-betul yang sudah nyata dan pasti," kata Dian di persidangan, Selasa.

"Sekali lagi formatnya harus hasil audit atau hasil pemeriksaan," lanjut dia.

Apalagi berdasarkan aturan, hanya BPK yang memiliki kewenangan untuk melakukan audit.

Baca juga: Sidang Praperadilan Penetapan Tersangka KPK, Kuasa Hukum Bupati Mimika Jelaskan Sejumlah Kejanggalan

"Pasal 10 ayat 1, lembaga yang boleh mengaudit hanya BPK dan tidak ada lembaga lain," ucap dia.

Sementara Mudzakir selaku ahli pakar pidana mempersoalkan status penetapan tersangka yang dimuat dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

"Padahal dalam KUHAP pasal 1 ke 2 dinyatakan, tersangka itu produk penyidikan," jelas Mudzakir.

Berkenaan dengan itu, menurutnya jika dalam SPDP sudah memuat penetapan tersangka, maka hal tersebut batal demi hukum.

Sebab penetapan tersangka kata Mudzakir, semestinya termuat dalam hasil dari produk penyidikan lengkap dengan minimal 2 alat bukti.

"Menurut saya, penyebutan nama pada awal proses penyidikan, itu melawan hukum dan tidak sah. Seharusnya produk penyidikan. Jika bukan produk penyidikan maka batal demi hukum," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini