TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putra Pertama Presiden Soekarno, Guntur Soekarnoputra menilai aturan masa jabatan Presiden seyogyanya tidak dibatasi.
Hal itu, menurut Guntur, sesuai dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang asli.
“Ya sebenarnya kalau saya lihat, saya analisa, (pake) metode analisanya Bung Karno. Sebenarnya kan mereka itu kan takut ada jabatan presiden seumur hidup di jaman Bung Karno dulu,” katanya di kantor Tribun Network, Jakarta, Selasa (30/8/2022).
Pria yang akrab disapa Mas To itu menjelaskan setelah era Presiden Soeharto menjabat 32 tahun, kemudian masa jabatan dibatasi hanya dua periode.
Dia menilai aturan tersebut sebetulnya tidak mencerminkan UUD revolusi.
Baca juga: Rakernas KAPT Rekomendasikan Tolak Wacana Jabatan Presiden Tiga Periode
“Menurut saya masalah presiden mau seumur hidup itu nggak jadi masalah. Itu semua tergantung bukan kok aturannya tergantung dari figur presidennya sendiri, seperti Bung Karno,” tuturnya.
Guntur menilai aturan presiden seumur hidup bergantung pada sifat kenegarawanan dari Presiden itu sendiri bukan mesti diatur 2 periode atau 3 periode.
Bung Karno, kata Guntur, dahulu diangkat oleh MPRS menjadi presiden seumur hidup, tapi Bung Karno menyatakan menerima keputusan MPRS pencabutan kekuasan pada 1967.
Berikut wawancara eksklusif Direktur Pemberitaan Tribun Network Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Guntur Soekarnoputra:
Bisa diceritakan aktivitas Mas To di tahun 60-70an yang juga seorang ideologis memahami betul pesan-pesan kebangsaan ajaran dari Bung Karno?
Mengenai politik saya sejak SMP sudah belajar karena sering dialog dengan bapak terutama ketika sedang makan buah sambil nanya-nanya. Biasanya bapak selalu kasih jawaban lugas.
Sejak itu saya sudah tertarik masuk ke politik. Tapi saya betul-betul aktif waktu masuk SMA kemudian masuk Institut Teknologi Bandung jurusan teknik mesin. Di situ saya tahun 63 mulai aktif di organisasi mahasiswa dari PNI yaitu GMNI.
Saya mulai jadi anggota biasa naik jadi kader dan kemudian sempat menjadi wakil ketua GMNI sekretariat ITB. Kemudian di dewan pimpinan cabang menjadi ketua tim indoktrinasi dasar dan selanjutnya.
Baca juga: Rakernas KAPT Rekomendasikan Tolak Wacana Jabatan Presiden Tiga Periode
Sampai pada periode pemilu 1971 era Orde Baru saya dijadikan juru kampanye nasional oleh PNI Marhaenisme ke mana-manalah, ke daerah segala macam.
Mengapa Mas To tidak setuju gabung dengan Partai Nasional Indonesia?
Saya waktu itu malah diskusi dulu sama Pak Isnaini sebagai Ketua DPP PNI, saya bilang kalau PNI ikut fusi partai mbok sampai kapanpun di dalamnya akan terjadi faksi.
Jadi DPP akan repot ngurusi internal partai tapi ngurusi juga eksternal. Sehingga kalau saya ditanya nggak gabung partai, tolak saja pak ide fusi itu.
DPP bilang ke saya kalau kita tolak salah-salah nanti PNI dibubarkan. Ya, saya bilang bubarkan saja, kan Pak Is tahu di pemilu 71 riil mendapatkan massa hampir 3 juta manusia.
Kalau kita dibubarkan toh diajarkan Bung Karno ada diajari mengenai geriliya politik. Jadi geriliya politik bukan cuma punya komunis, tapi pengikut Bung Karno diajarkan itu.
Namun Pak Is akhirnya tidak berani dan saya bilang kalau begitu saya tidak ikut gabung PNI. Sampai menjadi PDI saya tetap konsekuen dengan pendirian saya di luar saja tetapi bukan saya tidak berpolitik.
Baca juga: Sejumlah Jabatan di Polda Metro Jaya Kosong Buntut 24 Polisi Dimutasi Karena Kasus Ferdy Sambo
Saya berpolitik dengan berbagai cara yang bisa saya lakukan. Terutama memelihara basis-basis massa terutama generasi muda katakanlah sebagai duta sejarah. Bagaimana caranya mereka menjadi oknum-oknum kekuatan patriotik.
Ini yang saya sedang kerjakan terus sampai sekarang walaupun tidak gabung dengan partai politik.
Mas To kan belajar berdialog dengan Bung Karno sejak SMP, bisa dijelaskan inti mengenai nasionalisme dan kebangsaan?
Kalau menurut Bung Karno tidak lain dan tidak bukan, ya sosial nasionalisme juga sosial demokrasi. Nasionalisme di bidang politik serta dibarengi nasionalisme di bidang ekonomi.
Jadi tidak hanya patriotisme di bidang politik tapi patriotisme juga di bidang ekonomi kaitannya dengan berdikari. Ini dijabarkan lagi oleh Bung Karno sebagai deklarasi ekonomi.
Melihat perkembangan Republik Indonesia akhir-akhir ini bagaimana pandangan Mas To, apakah ajaran Bung Karno masih relevan diterapkan?
Jangan akhir-akhir ini wong masih panjang. Jadi kalau mau dikaitkan dengan kondisi sekarang saya melihat dengan adanya amandemen UUD 1945 sudah tidak benar.
Baca juga: Mutasi dan Rotasi Jabatan Polisi, Tingkat Mabes hingga Polda Metro Jaya
Ya sebenarnya kalau saya lihat, saya analisa, (pake) metode analisanya Bung Karno. Sebenarnya kan mereka itu kan takut ada jabatan presiden seumur hidup di jaman Bung Karno dulu.
Waktu era Pak Soeharto berapa itu 32 tahun apa segala macam. Nah ini mau dibatasi dan dibatasi memang ya dua kali aja.
Menurut saya masalah presiden mau seumur hidup itu nggak jadi masalah. Itu semua tergantung bukan kok aturannya tergantung dari figur presidennya sendiri, seperti Bung Karno.
Bung Karno dulu diangkat oleh MPRS jadi presiden seumur hidup, tapi Bung Karno tahu dan Bung Karno menyatakan kepada MPRS saya terima keputusan MPRS ini sekarang, tapi dalam sidang yang akan datang keputusannya mesti ditinjau kembali.
Jadi lebih banyak kepada sifat kenegarawanan dari Presiden itu sendiri. Jadi bukan mesti diatur 2 periode 3 periode ataupun lebih.
Walaupun sekarang misalnya Presiden Jokowi udah diatur dua periode, ya kalau misalnya Pak Jokowi mau, "saya mau tiga periode dia bikin dengan kekuasaan yang ada berubah lagi 3 periode bisa aja.
Tapi kan Pak Jokowi gak mau, ya jelas Pak Jokowi saya mau ikut konstitusi. Dua kali ya udah dua kali.
Sebelumnya diamandemen kan pemilihan dilakukan oleh MPR sekarang dipilih langsung, menurut Mas To apa untung ruginya?
Kita nggak usah ngomong lagi untungnya, tapi ruginya dengan pemilhan langsung apalagi 50+1 yang menang itu kan sudah demokrasi liberal.
Jadi presiden termasuk wakil presiden dipilih oleh rakyat langsung, nanti gubernur dipilih langsung bawahnya lagi sampai kepala desa. Mereka ini akhirnya tidak punya perasaan kepanjangan tangan dari Presiden.
Bisa saja terjadi Presidennya maunya A, gubernurnya policynya B, dan ini kejadian. Itu ruginya.
Ada lagi yang tidak mencerminkan UUD 45 ajaran dari Bung Karno?
Yang paling mendasar adalah yang udah nyeleweng dari UUD revolusi yang asli yaitu harus dipilih oleh MPR presiden dan wakil presiden.
Beberapa waktu lalu pimpinan MPR merekomendasikan masuknya pokok-pokok haluan negara atau GBHN di dalam UUD supaya maksudnya kalau ganti Presiden menjadi tidak ganti kebijakan, menurut Mas To gimana usulan tersebut?
Usulan boleh saja tapi kenapa sih harus setengah hati begitu. Kalau mau GBHN masuk ya kembali saja ke UUD yang asli. Kenapa harus nanggung begitu. (Tribun Network/Reynas Abdila)