TRIBUNNEWS.COM - Simak inilah penjelasan mengenai apa itu Quiet Quitting, lengkap dengan dampak yang akan muncul.
Melansir en.wikipedia.org, istilah Quiet Quitting awalnya diciptakan pada simposium ekonomi Texas A&M tentang ambisi yang semakin berkurang di Venezuela pada 17 September 2009 oleh Ekonom Mark Boldger.
Istilah tersebut juga sering digunakan oleh penulis buku terlaris Nick Adams dan Ekonom Thomas Sowell.
Quiet quitting yakni melakukan pekerjaan seperlunya sesuai dengan yang diminta atasan maupun kantor, tidak lebih.
Perilaku ini termasuk tetap masuk kantor dengan tepat waktu dan menyelesaikan tugas yang diberikan oleh atasan, namun semuanya dalam batas minimal.
Tidak ada kemungkinan untuk lembur atau memeriksa pekerjaan di luar jam kantor atau komitmen lebih lainnya.
Baca juga: Ekosistem Ekonomi Kreatif Mampu Buka 23 Juta Lapangan Pekerjaan
Artinya, tidak ada upaya untuk membuat kinerja kita di kantor menjadi istimewa atau berlebihan karena 'kesetian' pada pekerjaan.
Tujuan utama dari pola pikir ini adalah menghindari kelelahan kerja dan lebih memperhatikan kesehatan mental dan kesejahteraan pribadi seseorang.
Dikutip dari theguardian.com, Maria Kordowicz, seorang profesor dalam perilaku organisasi di University of Nottingham dan direktur pusat pendidikan dan pembelajaran interprofessional, mengatakan peningkatan quiet quitting terkait dengan penurunan nyata dalam kepuasan kerja.
"Sejak pandemi, hubungan orang dengan pekerjaan telah dipelajari dalam banyak cara, dan literatur biasanya, di seluruh profesi, akan berpendapat bahwa cara orang berhubungan dengan pekerjaan mereka telah berubah," kata Kordowicz.
Baca juga: Link dan Cara Daftar Clickworker, Aplikasi Penyedia Pekerjaan Sampingan Secara Online
"Saya pikir ini memiliki kaitan dengan elemen quiet quitting yang mungkin lebih negatif: keluar dari pekerjaan secara mental, kelelahan karena volume pekerjaan dan kurangnya keseimbangan kehidupan kerja yang melanda banyak dari kita selama pandemi." lanjutnya.
Kordowicz menambahkan, hal itu bisa menyebabkan berkurangnya kepuasan di tempat kerja, kurangnya antusiasme, dan kurangnya keterlibatan.
Dampak Buruk
Pakar perilaku di tempat kerja asal Los Angeles, Pattie Ehsaei menilai quiet quitting ini tidak sepenuhnya memberikan pengaruh baik, khususnya untuk pencapaian profesional.
"Kemajuan dan kenaikan gaji akan diberikan kepada mereka yang tingkat usahanya menjamin kemajuan, dan bagi yang melakukan paling minimum tentu saja tidak," tambahnya.
Konsultan HRD, Michael Timme menyarankan, salah satu cara agar tetap bisa mewujudkan work life balance adalah dengan memaksimalkan jam kerja di kantor.
Hal ini bisa menghilangkan faktor buruk dari quite quitting seperti kurangnya motivasi, keterbelakangan keterampilan, kurangnya fleksibilitas dan ketidakmampuan untuk bekerja dalam pengaturan tim.
"Dari sudut pandang kantor, quite quitting dapat menyebabkan konflik antar karyawan, karena beberapa karyawan akan merasa orang lain tidak memikul beban mereka," tambahnya.
(Tribunnews.com/Latifah)(Kompas.com)