Sementara itu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai penaikan harga BBM adalah hal yang tidak bisa dihindarkan.
"Kebijakan menaikkan harga BBM bak buah simalakama. Tak dinaikkan, finansial APBN makin bleeding (berdarah, red) dan akan mengorbankan sektor lain," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi saat dihubungi, Sabtu (3/9/2022).
"Jika dinaikkan, potensi efek dominonya sangat besar, berpotensi memukul daya beli masyarakat konsumen, yang ditandai dengan tingginya inflasi," ujarnya menambahkan.
Tulus menambahkan, YLKI memberi sejumlah catatan yang harus diperhatikan pemerintah selepas kenaikan harga BBM ini.
Pertama, pemerintah harus menjamin rantai pasok komoditas bahan pangan tidak terdampak secara signifikan paska kenaikan harga BBM.
Tulus mengatakan jalur distribusi harus lebih disederhanakan dan dilancarkan, sehingga tidak menjadi kedok untuk menaikkan harga bahan pangan.
"Jangan jadikan kenaikan harga BBM untuk aji mumpung menaikkan komoditas pangan, dan komoditas lainnya," ujarnya.
Kemudian yang kedua pemerintah pusat dan daerah harus tetap memberikan subsidi pada angkutan umum, atau insentif lainnya.
Sehingga, lanjut dia, dapat meminimalisir potensi kenaikan tarif angkutan umum menyusul kenaikan harga BBM.
"Tingginya kenaikan angkutan umum, justru akan kontra produktif bagi nasib angkutan umum itu sendiri, karena akan ditinggalkan konsumennya, dan berpindah ke sepeda motor," ucap Tulus.
Selanjutnya, Tulus meminta agar kenaikan bahan bakar harus diikuti upaya reformasi pengalokasian subsidi BBM.
Artinya penerima subsidi BBM benar-benar pada masyarakat yang berhak, sesuai dengan nama dan alamat tinggal penerima.
Baca juga: Imbas Kenaikan Harga BBM Subsidi, Laju Rupiah Pekan Depan Bakal Melemah Dekati ke Level Rp14.980
Pasalnya, kata dia, kajian Bank Dunia mencatat 70 persen subsidi BBM tidak tepat sasaran, karena dinikmati kelompok menengah dan mampu.
"fenomena ini tidak boleh dibiarkan," katanya.