Satgassus, lanjut dia, kemudian diberi kewenangan untuk menangani lima kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang diatur dalam lima Undang-Undang (UU).
Lima UU tersebut yakni menyangkut psikotropika, narkotika, TPPU, korupsi, dan ITE.
Baca juga: Tersangka di 2 Kasus, Komnas HAM Yakin Ferdy Sambo Dihukum Berat Walau Dugaan Pelecehan Terbukti
"Dari lima UU ini terlihat bahwa perkara yang diserahkan kepada Satgassus adalah perkara-perkara yang 'mewah'. 'Mewah' itu adalah tindak pidana yang memang akan melibatkan satu potensi penanganan kasus dengan nilai yang besar," kata dia.
Karena itu, kata dia, banyak perkara-perkara terkait pengungkapan kasus narkoba yang besar diungkap Satgassus.
Namun demikian, lanjut dia, yang jadi pertanyaan adalah bagaimana akuntabilitas kerja dari Satgasus.
Karena, kata Sugeng, dalam SPRIN tersebut administrasi penanganan perkara Satgassus melekat pada Satuan Kerja di Bareskrim administrasinya.
"Akan tetapi saya mendapat informasi bahwa Satgasus ini memiliki keleluasaan yang besar dalam penanganan kasus ini, walaupun administrasinya ada pada Satker Bareskrim," kata dia.
Sugeng mengaku baru mengetahui Satgassus tersebut ketika kasus Ferdy Sambo mencuat.
Pihaknya, kata dia, kemudian menyampaikan lima alasan agar Satgassus dibubarkan.
Pertama, kata dia, Satgassus tersebut adalah polisi elite.
"Karena 421 orang untuk SK SPRIN Stagassus yang terkahir ini adalah orang-orang yang dipilih berdasarkan kedekatan daripada para pimpinan-pimpinan. Di sana ada sebagai penasihat Kapolda beberapa wilayah, kemudian Saambo sendiri sebagai Kadiv Propam," kata dia.
Kedua, lanjut dia, terjadi demoralisasi di kalangan polisi yang bukan merupakan anggota Satgassus.
Ketiga, kata Sugeng, adanya tumpang tindih kewenangan karena penyelidikan dan penyidikan sebetulnya kewenangan Satker Reserse.
Keempat, kata dia, Satgassus itu tidak memiliki dasar legalitas yang kuat.