Kemajuan teknologi mendorong perubahan kebudayaan. Seperti internet of things, artificial intelligence, dan robotik memiliki dampak negatif, yang sering disebut VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).
“Sifatnya volatile, ketidakpastian akibat banyak informasi, kompleks, membingungkan, sulit dipahami atau multitafsir,” ungkapnya.
Pemerintah telah menargetkan tahun 2024 ada 50 juta orang yang terkoneksi internet.
Karena itu, menurut KH Chriswanto, pemerintah atau Kominfo sebagai leading sector perlu menggandeng ormas yang memiliki basis massa, dan membantu edukasi literasi digital pada warganya.
"Level bawah perlu terus pelatihan (coaching), sehingga merasakan manfaat teknologi. Mengenai kerawanan data, Kominfo perlu memperhatikan hal itu dengan maintain secara reguler. Sehingga peluang aman bagi data masyarakat ditegakkan," kata Chriswanto.
Sementara itu Singgih mengatakan, jika masyarakat menjadi smart, maka elemen lain seperti pemerintah dan institusi juga perlu smart.
“Kuncinya dengan pengembangan pendidikan, tidak hanya intelektual tapi juga emosi dan mental siswa. Ditambah dalam pendidikan agama perlu menciptakan suasana inklusif dan toleran,” imbuhnya.
Dalam hal tersebut, ia mencontohkan apa yang dilakukan LDII dengan masyarakat. Selama ini, adalah mengedepankan kontribusi, pendidikan karakter, dan penerapan nilai Pancasila.
"Kita perlu integritas atau kejujuran, serta memiliki tanggung jawab menyadari konsekuensi saat menggunakannya," kata Singgih.