TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setiap tanggal 30 September masyarakat Indonesia memperingati peristiwa pengkhianatan terhadap Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia [PKI] melalui peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan peristiwa penculikan para jenderal TNI Angkatan Darat yang didalangi oleh PKI lewat fitnahan isu Dewan Jenderal yang mereka hembuskan dan hendak menggulingkan kepemimpinan Presiden RI saat itu, Ir Soekarno.
Dalam peristiwa G30S PKI, Jenderal Abdul Haris Nasution atau AH Nasution menjadi jenderal TNI AD yang lolos dari incaran penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan Cakrabirawa pimpinan Letkol Untung.
Jenderal AH Nasution berhasil melarikan diri saat pasukan Cakrabirawa mengepung kediamannya. Namun, putri AH Nasution, Ade Irma Suryani Nasution meninggal tertembak oleh pasukan Cakrabirawa.
Kisah Jenderal AH Nasution yang berhasil selamat dari peristiwa tersebut dikenal oleh masyarakat Indonesia hingga sekarang.
Selain karena selamat dari G30S PKI, AH Nasution juga dikenal karena keberaniannya melawan dan menahan kebijakan PKI seperti mempersenjatai buruh.
Perjalanan karir AH Nasution Bersumber dari situs Kebudayaaan Kemendikbud Ristek, AH Nasution lahir di Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara pada 3 Desember 1918.
Baca juga: 3 Fakta Selamatnya AH Nasution dari Tragedi G30S
Sebelum terjun dalam dunia militer, AH Nasution yang merupakan anak petani sempat berprofesi sebagai guru di Bengkulu dan Palembang.
AH Nasution kemudian mendaftar ke sekolah perwira cadangan yang dibuka oleh Belanda untuk pemuda Indonesia pada tahun 1940.
Kemudian, ia menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pertempuran pertamanya terjadi di Surabaya pada tahun 1942 saat ia melawan Jepang. AH Nasution sempat lari ke Bandung setelah pasukannya bubar.
Baca juga: Profil AH Nasution, Jenderal yang Selamat dari Peristiwa G30S
Di Bandung, ia bekerja sebagai pengawal pamong praja namun hanya bertahan sebentar saja.
Pada tahun 1943, AH Nasution kembali menekuni bidang militer dan menjadi Wakil Komandan Barisan Pelopor di Bandung.
Selama berkarir, AH Nasution dikenal sebagai penggagas konsep Dwifungsi ABRI dan peletakan dasar perang gerilya. Gagasan ini tertuang dalam bukunya "Strategy of Guerilla Warfare".
Buku ini sangat terkenal bahkan sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing.
Baca juga: Kostrad Bantah Gatot Nurmantyo: Pembongkaran Patung Soeharto & AH Nasution Permintaan Pembuat
Selain itu, buku karya AH Nasution ini menjadi buku wajib di akademi militer di berbagai negara, termasuk West Point, Amerika Serikat yang merupakan sekolah militer elite dunia. Jenderal AH Nasution dikenal tegas dan berani.
Ia terang-terangan menentang komunis bahkan turut terjun memimpin pasukan Siliwangi dalam menumpas pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.
AH Nasution berhasil selamat dari G30S PKI AH Nasution merupakan salah satu target penculikan PKI pada 30 September 1965, namun berhasil lolos.
Sekitar pukul 04.00 pada hari tersebut, pasukan Cakrabirawa datang ke kediaman Nasution.
Johanna Sunarti, istri AH Nasution memintanya tidak keluar rumah menemui pasukan Cakrabirawa.
Baca juga: Profil Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa Pemimpin G30S, Nasibnya Tak Seberuntung Namanya
Ia beserta istri, adiknya Mardinah, dan anak bungsunya, Ade Irma Suryani Nasution, melarikan diri ke samping rumah.
Namun, Ade Irma Suryani, yang saat itu digendong oleh Mardinah, terkena tembakan pada bagian punggung.
Karena ancaman masih ada, AH Nasution dan istri memintanya tetap melarikan diri menjauh dari rumah yang sudah dikepung.
AH Nasution berhasil melarikan diri dengan melompat pagar. Namun saat jatuh ke halaman Kedutaan Irak, pergelangan kakinya patah.
Hingga pasukan Cakrabirawa pergi dari rumahnya, AH Nasution terus bersembunyi.
Jenderal ketiga yang mendapatkan Bintang Lima Jenderal Besar AH Nasution merupakan satu-satunya Jenderal Besar yang berhasil selamat dari peristiwa G30S PKI.
Meskipun demikian, ia kehilangan puteri bungsunya, Ade Irma Suryani, setelah beberapa hari mendapat perawatan di rumah sakit.
Setelah peristiwa G30S PKI, AH Nasution kemudian diangkat menjadi Ketua MPRS. Pada tahun 1972, AH Nasution dipensiunkan dini dari dinas militer.
Bertepatan pada hari ABRI, tepatnya pada 5 Oktober 1997, AH Nasution dianugerahi pangkat "Jenderal Besar Bintang Lima" setelah selama 21 tahun "dikucilkan" oleh Presiden Soeharto.
Hanya ada tiga jenderal yang menyandang Bintang Lima di Indonesia yaitu Jenderal Besar Soedirman, Presiden Soeharto, dan Jenderal Besar AH Nasution.
Jenderal AH Nasution dikenal taat beribadah. Dia menghembuskan nafas terakhirnya pada 6 September 2000 di Rumah Sakit Gatot Soebroto, Jakarta, pukul 07.30 WIB.
Jabatan yang pernah disandang mendiang Jenderal AH Nasution:
Kepala Staf Komandemen I/Jawa Barat, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) (1945);
Komandan Divisi I/Jawa Barat (1945);
Panglima Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI) (1945);
Panglima Divisi I/SIliwangi (1946);
Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Mobil (1948) ;
Wakil Panglima Besar Angkatan Perang/Kepala Staf Operatif, Markas Besar Angkatan Perang (1948);
Panglima Markas Besar Komando Djawa (MBKD) Yogyakarta (1948);
Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD) (1948);
Kepala Staf A.D. (KSAD) (1949 - 1962);
Menteri Keamanan Pertahanan (1959);
Menteri Keamanan Nasional (1960);
Wakil Panglima Besar (1961);
Wakil Menteri Pertama/Koordinator bidang Pertahanan-Keamanan (1962);
Menteri Koordinator Kompartemen Pertahanan Keamanan (1963);
Menteri Koordinator Kompartemen Pertahanan Keamanan (1964);
Wakil Panglima Besar Komando Operasi Tertinggi (Koti)/Kepala Staf Angkatan Bersenjata R.I (1966);
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) (1966).
Penulis: Tiyas Septiana | Sumber: Kontan