TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berkembangnya teknologi, informasi dan komunikasi memberikan peluang bagi masyarakat untuk aktif mengkritik segala macam hal, termasuk politik, melalui Ruang digital.
Ruang digital ini menjadi ibarat dua sisi mata pisau.
Di satu sisi, semua keterbukaan ini memiliki dampak yang demokratis, semua orang dapat menyuarakan pendapatnya, menyorot dan mengikuti berbagai isu yang sekiranya dapat berimbas kepada diri mereka.
Namun, di sisi lain, semua keterbukaan ini dapat disalahgunakan.
Akun-akun palsu, penggiringan opini, dan misinformasi menjadi beberapa poin yang dapat dikatakan sangat rawan dalam netizenship era ini.
Diskursus ini mengemuka dalam acara Talkshow Sekopol: Menyoal Kewarganegaraan Digital dalam Praktik Demokrasi Kontemporer, yang diselenggarakan di Bandung, Selasa (18/10/2022).
Diskusi yang diselenggarakan Sekolah Politik dan Komunikasi Indonesia yang bekerja sama dengan Kominfo itu menghadirkan Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid, Ketua Departemen Ilmu Politik UNPAD Caroline Paskarina, CEO Asumsi Pangeran Siahaan, CEO Puspenpol Iqbal Siahaan, dan moderatori oleh Arie Putra dan Budi Adiputro dari Total Politik.
"Digital netizenship menganut beberapa prinsip ideal, di antaranya bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban dalam tata cara berkomunikasi, serta bertanggung jawab atas segala perilakunya terutama di dunia digital," kata Meutya Hafid dalam sambutannya.
Politisi senior Partai Golkar itu menambahkan bahwa masyarakat Indonesia harus menyikapi kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi sebagai sebuah bentuk partisipasi aktif dan transpransi akuntabel yang dapat dilakukan oleh masyarakat digital.
Kata sambutan juga diberikan oleh Dekan Fisip Unipad Widya Setiabudi Sumadinata.
Ia mengatakan bahwa Digital netizenship relevan dalam konteks kekinian untuk mewujudkan iklim demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia.
Baca juga: Program Indonesia Makin Cakap Digital 2022 Bertujuan Membangun Wawasan Dan Pengetahuan
“Kemunculan konsep Digital Citizenship ini tentu sangat baik bagi proses demokratisasi di Indonesia yang masih terus berjalan sampai saat ini. Hal ini membuat masyarakat dapat berperan aktif untuk menjadi pengawas maupun pembuat kebijakan.” katanya.
Sementara itu, Ketua Departemen Ilmu Politik Fisip Unpad Caroline Paskarina mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan kultur interkasi, terutama interaksi di bidang pendidikan yang dirasakan oleh Genereasi Z saat ini.
Sehingga muncul berbagai fenomena "death of expertise" yang harus diwaspadai.
"'Death of expertise', dimana kepakaran tidak hanya berasal dari satu sumber, sekarang sudah terjadi karena setiap orang memiliki hak untuk berbicara, itulah fungsi dari netizen untuk mengecek. problemnya adalah pakarnya sendiri yang tidak mau berbicara, dimana terdapat tantangan untuk mengkomunikasikan bahasa-bahasa ilmiah melalui media dan aktivis membantu untuk memudahkan teknologi digital bisa menjadi pisau bermata dua, bisa membuat demokrasi semakin berkembang atau sebaliknya, yaitu backsliding democracy" ujarnya.
Selain itu, Founder Asumsi Pangeran Siahaan mengatakan bahwa aktivisme konvensional seperti aksi turun ke jalan dengan aktivisme digital bukanlah hal yang bertentangan.
Sifat mereka adalah saling melengkapi dan mendukung satu sama lain.
Sebagai praktisi jurnalisme dalam media lama dan media baru, Pangeran Siahaan menawarkan perspektif yang sangat menarik.
Menurutnya, apabila dibandingkan dengan negara lain di regional ASEAN, Indonesia masih memiliki demokrasi yang lebih baik.
“Kita punya regulasi untuk masalah hoaks dan lainnya. Kalau backsliding democracy ke zaman Orde Baru dahulu menjadi sulit ketika masih ada Generasi Z. Freedom dengan segala konsekuensi lebih baik daripada penekanan dengan segala konsekuensi,” ujarnya.
Dalam perspektif lainnya, yaitu dari Iqbal Muhammad selaku CEO Pusat Penerangan Politik, media pendidikan politik baru yang bergerak di sosial media, mengatakan bahwa isu-isu yang lebih cepat direaksi oleh masyarakat adalah memang isu-isu yang dekat dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Kementerian Kominfo Bentuk Satgasus Kawal Ruang Digital Jelang Pemilu 2024
Oleh sebab itu, Puspenpol selalu mengangkat tema yang dikritisi mahasiswa.
“Kalau Puspenpol selalu membahas yang dekat dengan mahasiswa, seperti mengkritisi pemerintah, isu kekerasan seksual, dan masyarakat yang termarjinalkan,” ujarnya.