TRIBUNNEWS.COM - Inilah sejumlah fakta yang terungkap dalam sidang dakwaan tiga petinggi yayasan filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Sidang perdana atas kasus dugaan penyelewengan dana donasi korban pesawat jatuh Lion Air JT610 yang melibatkan petinggi ACT digelar pada Selasa (15/11/2022).
Sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan ini mengagendakan pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Adapun ketiga terdakwa yang menjalani sidang adalah pendiri sekaligus mantan Presiden ACT, Ahyudin; Presiden ACT periode 2019-2022, Ibnu Khajar; dan Dewan Pembina ACT, Hariyana Hermain.
Sejumlah fakta pun terungkap di dalam persidangan. Di antaranya soal hilangnya pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa.
Ketiganya hanya dijerat pasal penggelapan.
Baca juga: Rincian Dana Donasi Rp117,9 Miliar yang Digunakan Ahyudin Cs untuk Keperluan Pribadi dan Yayasan ACT
Selain itu, terungkap pula besaran gaji yang mereka terima per bulan, yaitu Rp 70 juta hingga Rp 100 juta.
Merangkum dari berbagai sumber, berikut sejumlah fakta yang terungkap dalam sidang dakwaan tiga petinggi ACT:
1. Didakwa Lakukan Penggelapan Dana
Dalam kasus ini, Ahyudin didakwa melakukan penggelapan dana bersama Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain.
Dana yang diselewengkan adalah bantuan dari Boeing Community Investment Fund (BCIF) untuk keluarga korban kecelakaan Pesawat Lion Air Boeing 737 Max 8 nomor penerbangan JT 610 senilai Rp 117 miliar.
"Dana BCIF tersebut digunakan oleh terdakwa tidak sesuai dengan implementasi Boeing."
"Malah digunakan bukan untuk kepentingan pembangunan fasilitas sosial sebagaimana yang ditentukan dalam protokol BCIF," ucap jaksa, dikutip dari Kompas.com.
Jaksa mengungkapkan, Yayasan ACT telah menerima dana dari BCIF Rp 138.546.388.500.
Akan tetapi, dana bantuan untuk keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air itu hanya diimplementasikan sebesar Rp 20.563.857.503.
Baca juga: Terungkap, ACT Tidak Pernah Lapor Progres Penggunaan Dana Sosial Korban Pesawat Lion Air ke Boeing
2. Rincian Dana yang Diselewengkan
Jaksa menyebut, Ahyudin dan dua terdakwa lainnya menggunakan dana donasi sebesar Rp 117,9 miliar.
Jaksa lantas memerinci dana yang diselewengkan oleh Ahyudin Cs sebagaimana protocol BCIF, yakni sebagai berikut:
- Pembayaran gaji dan THR karyawan dan relawan Rp 33.206.008.836
- Pembayaran ke PT Agro Wakaf Corpora Rp 14.079.425.824
- Pembayaran ke Yayasan Global Qurban sebesar Rp 11.484.000.000
- Pembayaran ke Koperasi Syariah 212 sebesar Rp 10.000.000.000
- Pembayaran ke PT Global Wakaf Corpora sebesar Rp 8.309.921.030
- Tarik tunai individu sebesar Rp 7.658.147.978
- Pembayaran untuk pengelola sebesar Rp 6.448.982.311
- Pembayaran tunjangan pendidikan sebesar Rp 4.398.039.690
- Pembayaran ke Yayasan Global Zakat sebesar Rp 3.187.549.852
- Pembayarran ke CV Cun sebesar Rp 3.050.000.000
- Pembayaran program sebesar Rp 3.036.589.272
- Pembayaran ke dana kafalah sebesar Rp 2.621.231.275
- Pembelian kantor cabang sebesar Rp 1.909.344.540
- Pembayaran ke PT Trading Wakaf Corpora sebesar Rp 1.867.484.333
- Pembayaran pelunasan lantai 22 sebesar Rp 1.788.921.716
- Pembayaran ke Yayasan Global Wakaf sebesar Rp 1.104.092.200
- Pembayaran ke PT Griya Bangun Persada sebesar Rp 946.199.528
- Pembayaran ke PT Asia Pelangi Remiten sebesar Rp 188.200.000
- Pembayaran ke Ahyudin sebesar Rp 125.000.000
- Pembayaran ke Akademi Relawan Indonesia sebesar Rp 5.700.000
- Pembayaran lain lain sebesar Rp 945.437.780
- Dana tidak teridentifikasi sebesar Rp 1.122.754.832
Baca juga: Eks Presiden ACT Ahyudin Didakwa Lakukan Penggelapan Dana Donasi Korban Lion Air Rp 117 Miliar
3. Hilangnya Pasal TPPU
Dalam dakwaan yang dibacakan JPU, Ahyudin hanya didakwa pasal 374 subsider pasal 372 KUHP juncto pasal 55 penggelapan ayat ke 1 ke 1 KUHP soal Tindak Pidana Penggelapan dengan ancaman maksimal lima tahun penjara.
Sementara, Ibnu Khajar dan Hariyana hanya didakwa pasal 372 KUHP juncto pasal 55 penggelapan ayat ke 1 ke 1 KUHP soal Tindak Pidana Penggelapan.
Adapun pasal yang hilang dalam dakwaan tersebut yakni Pasal 45 a ayat 1 juncto Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Kemudian Pasal 70 ayat 1 dan ayat 2 juncto Pasal 5 Undang-Undang 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, lalu Pasal 3, 4, 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Dalam persangkaan pasal TPPU, ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) I Ketut Sumedana menjelaskan, sedari awal penyusunan dakwaan, kejaksaan hanya menerima berkas dengan pasal penggelapan dari penyidik kepolisian.
"Saya kurang tahu proses penanganannya ya, tapi berkas perkara pasal yang dicantumkan hanya itu (penggelapan)," kata Ketut, dikutip dari Kompas.com.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Syarief Sulaeman Nahdi menambahkan, untuk perkara TPPU dan ITE hingga kini masih dalam tahap penyidikan oleh penyidik Bareskrim Polri.
Nantinya, jika pernyidikan terkait perkara itu selesai dan sudah dilimpahkan penyidik, dimungkinkan untuk persidangannya akan dilakukan dalam perkara terpisah.
"Karena masih tahap penyidikan di Bareskrim. Untuk perkara TPPU dan ITE akan disidang terpisah, (bila) berkasnya sudah lengkap," ucapnya, dikutip dari Tribunnews.com.
4. Gaji 3 Petinggi ACT
Dalam surat dakwaan juga terungkap nilai gaji para petinggi ACT, termasuk ketiga terdakwa dan Senior Vice President Humanity Network Department, Novariadi Imam Akbari.
Keempat petinggi ACT, menurut dakwaan, mendapat gaji dengan besaran berbeda-beda.
"Gaji untuk Ahyudin sebesar Rp 100 juta," demikian isi surat dakwaan.
Sementara Hariyana, Ibnu Khajar, dan Novariyadi disebut masing-masing mendapat gaji sebesar Rp 70 juta.
5. Respons Para Terdakwa
Masih dalam sidang, ada respons berbeda dari ketiga terdakwa terkait surat dakwaan yang dibacakan JPU.
Atas dakwaan itu, kubu Ahyudin tidak melayangkan nota keberatan atau eksepsi.
Sementara kedua terdakwa lainnya, yaitu Hariyana Hermain dan Ibnu Khajar mengajukan nota keberatan.
Kuasa hukum terdakwa Ibnu Khajar, Virza Roy Hizal menilai ada beberapa poin yang harus dikritisi dalam dakwaan jaksa.
"Setelah kami mendengar surat dakwaan ada hal-hal yang kami kritisi terkait formil-formil dakwaan, akan ajukan eksepsi," kata Virza dalam persidangan.
Tak hanya itu, mereka juga mengaku belum memegang salinan surat dakwaan secara fisik sejak perkara itu dinyatakan lengkap atau P21.
(Tribunnews.com/Sri Juliati/Abdi Ryanda Shakti) (Kompas.com/Irfan Kamil)