Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wildat, kuasa hukum Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Periode 2019-2022 Ibnu Khajar membacakan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (22/11/2022).
Wildat menyatakan kalau jaksa penuntut umum tidak menjelaskan secara detail apa peran kliennya dalam perkara ini.
"Bahwa Penuntut Umum telah tidak cermat dalam menyusun surat dakwaan primair dan surat dakwaan subsidair, hal ini dikarenakan penuntut umum tidak menguraikan dengan jelas dan tepat apa dan bagaimana peran terdakwa dalam tindak pidana yang didakwakan," kata Wildat dalam persidangan.
Di mana dalam perkara ini, Ibnu Khajar didakwa melanggar Pasal 374 subsidair Pasal 372 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Baca juga: Jaksa Semprot Mantan Karyawan ACT agar Bicara Jujur soal Awal Mula jadi Pengelola Dana Donasi Boeing
Dalam dakwaan tersebut, tim kuasa hukum juga kata Wildat, menilai tidak cermatnya jaksa dalam menjatuhkan pasal 55 ayat (1) ke-1.
Sebab, dalam pasal itu jaksa penuntut umum disebut tidak jelas dalam menyebut adanya pelaku lain yang turut terlibat atau 'penyertaan'.
Di mana kata dia dalam esensi pasal 55 ayat 1 ke-1 itu terkait dengan pelaku yang melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan.
Baca juga: Pengacara Petinggi ACT Minta Kliennya Dihadirkan Langsung di Sidang Kasus Penyelewengan Dana Donasi
Sementara dalam kasus yang menjerat Ibnu Khajar bersama Hariyana Hermain dan Ahyudin tidak dijelaskan siapa yang berperan siapa sebagai apa.
"Dengan demikian, menjadi suatu ketidakjelasan dalam penyusunan surat dakwaan," ucapnya.
Karenanya, tim kuasa hukum menilai dakwaan dari jaksa penuntut umum harus batal demi hukum.
Baca juga: Terungkap, ACT Tidak Pernah Lapor Progres Penggunaan Dana Sosial Korban Pesawat Lion Air ke Boeing
Dengan begitu, kubu Ibnu Khajar meminta kepada majelis hakim untuk menolak seluruh dakwaan jaksa penuntut umum.
"Menyatakan surat dakwaan penuntut umum nomor register perkara: PDM-269/Eoh.2/10/JKTSL.TN/2022 tertanggal 1 November 2022 batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak diterima. Melepaskan terdakwa dari tahanan," kata Wildat.
Dakwaan Jaksa
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU), Ahyudin melakukan penggelapan dana donasi itu bersama Presiden ACT, Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain selaku Dewan Pembina ACT.
"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, barang tersebut ada dalam kekuasaannya karena ada hubungan kerja atau karena pencahariannya atau karena mendapat upah untuk itu," kata Jaksa di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/11/2022).
Jaksa menyebut perkara ini bermula pada tanggal 29 Oktober 2018, maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan 610, dengan pesawat Boeing 737 Max 8, telah jatuh setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta, Indonesia.
Kejadian tersebut mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia.
"Atas peristiwa tersebut Boeing menyediakan dana sebesar USD 25.000.000 sebagai Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) untuk memberikan bantuan finansial yang diterima langsung oleh para keluarga (ahli waris) dari para korban kecelakaan Lion Air 610," ucap Jaksa.
"Selain itu Boeing juga memberikan dana sebesar USD 25.000.000 sebagai Boeing Community Investment Fund (BCIF) yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan," sambungnya.
Namun, uang donasi BCIF tersebut tidak langsung diterima oleh ahli waris, namun diterima oleh organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban.
ACT, sebagai pihak ketiga mengaku ditunjuk langsung oleh Boeing untuk menjadi lembaga pengelola dana donasi BCIF tersebut
Dalam perjalanannya, ACT meminta pihak keluarga korban menyetujui dana sosial BCIF sebesar USD 144.500 atau senilai Rp2 miliar per ahli waris dengan total dana sekitar Rp138 miliar dari Boeing.
Namun, uang donasi BCIF tersebut digunakan oleh terdakwa Ahyudin bersama Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain sebesar Rp117 miliar bukan untuk peruntukannya.
"Telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp 117.982.530.997,diluar dari peruntukannya yaitu untuk kegiatan di luar implementasi Boeing adalah tanpa seizin dan sepengetahuan dari ahli waris korban kecelakaan Maskapai Lion Air pesawat Boeing 737 Max 8 maupun dari pihak Perusahaan Boeing sendiri," ucap Jaksa.
Atas perbuatannya, para terdakwa didakwa pasal 374 subsider 372 KUHP juncto pasal 55 ayat ke 1 ke 1 KUHP soal Tindak Pidana Penggelapan Dana.