Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan enam isu krusial yang tercantum di dalam RKHUP bermasalah, dalam Aksi Kamisan, di Taman Pandang Istana, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (1/12/2022).
Nugraha, pengurus Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menyebut, yang pertama adalah pasal-pasal terkait penghinaan presiden, lembaga negara dan pemerintah.
Pasal-pasal ini dianggap merugikan rakyat karena membungkam rakyat untuk mengkritik kerja Presiden, Lembaga Negara, dan Pemerintah.
Padahal, menurut Nugraha, rakyat yang memilih mereka untuk berkuasa dan rakyat pula yang membayar gaji mereka untuk bekerja.
“Seharusnya Presiden, Lembaga Negara, dan Pemerintah bekerja untuk melayani rakyat, dan terbuka untuk dikritik supaya kerjanya lebih baik,” kata Nugraha, Kamis.
Baca juga: Aksi Kamisan ke-755 di Taman Pandang Istana Suarakan Tolak RKUHP Disahkan
Kemudian, Dela, warga Muara Baru yang juga seorang paralegal menyebut, yang kedua yaitu pasal tentang pawai dan unjuk rasa.
Kata Dela, pasal ini merugikan rakyat karena menutup ruang masyarakat untuk berpendapat.
Ia menjelaskan, salah satu contoh nyata adalah Aksi Kamisan yang sudah 755 kali dilakukan.
Aksi ini selalu tertib dilakukan dengan pemberitahuan, namun tetap kerap dihalang-halangi dan dihambat.
“Yang rakyat butuhkan adalah perlindungan terhadap kebebasan berpendapat. DPR dan Pemerintah yang baik, buatlah pasal yang menghukum pelaku-pelaku yang menghambat kami berpendapat dengan tertib,” kata Dela, Kamis.
Selanjutnya, Satrio dari WALHI Eksekutif Nasional menyebut, yang ketiga adalah pasal tentang pencemaran dan perusakan lingkungan.
Menurut Satrio, pasal ini menyulitkan pembuktian karena tidak ada pengaturan yang jelas mengenai derajat kerusakan lingkungan.
Ia melanjutkan, penjahat lingkungan yang mayoritas adalah korporasi menjadi sulit dikejar karena pembuktiannya bergantung pada kesalahan pengurus, bukan korporasi itu sendiri.
“DPR perlu memastikan bahwa tindak pidana lingkungan benar-benar dihapuskan dalam RKUHP karena kejahatan lingkungan adalah tindak pidana khusus yang tidak layak menjadi substansi RKUHP,” kata Satrio, Kamis.
Keempat, pasal tentang paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Bayu kemudian menjelaskan, kalimat “yang bertentangan dengan Pancasila” itu sangat berbahaya karena tidak ada ukuran yang jelas untuk menilai seseorang bertentangan atau sejalan dengan Pancasila.
Sehingga, menurut Bayu, hal itu membuka ruang multitafsir mengenai hal-hal yang dimaksud sebagai bertentangan dengan ideologi Pancasila. Sementara, kondisi masyarakat Indonesia sangat beragam dengan berbagai latar belakang dan cara berpikir.
“Keberagaman kita yang selama ini tertuang dalam Pancasila, malah terancam dengan pasal ini," ujarnya.
"Pasal ini sangat mungkin digunakan untuk melabeli semua orang yang dianggap berbeda, mengkritik negara dan pemerintah sebagai anti pancasila yang ujung-ujungnya adalah senjata untuk pemerintah yang anti terhadap kritik dari masyarakat,” sambung Bayu.
Baca juga: Tim Sosialisasi Sebut Delik Agama-Kepercayaan di RKUHP untuk Jaga Persatuan dan Keharmonisan